Bertawakal dari Awal

H. A.H. Asdie, H. Entjep Hadjar, H. Jusuf Misbach,
H. Memet R Kusrin, H. Fachruddin, H. Edward Pribadi

http://fktawakal.wordpress.com

Betapa beruntung kita, bila bisa melaksanakan perintah Al-Khaliq untuk kian memurnikan ketaatan kepadaNya. Ibadah adalah satu-satunya tugas manusia di dunia. Jika menjalaniya dengan saling menyemangati supaya semakin ikhlas, insya Allah para pelakunya akan sama-sama mendapat nilai keutamaan.


Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)-mu dalam setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepadaNya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan, (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya". [QS 7 (Al-A’raaf): 29].

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. [QS 51 (Adz-Dzaariyaat): 56].

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [QS 98 (Al-Bayyinah): 5].

Tegaslah sudah, bahwa ibadah harus ikhlas hanya karena Allah Al-Ahad (Yang Maha Esa). Kemurnian niat itu merupakan syarat mutlak dalam beribadah. Baik pada ibadah sebagai ungkapan rasa syukur dan bukti penghambaan belaka kepadaNya maupun untuk mengharapkan kemaslahatan bagi diri pribadi dan orang lain yang bernilai amal shalih (perbuatan mulia). Dengan demikian nilainya tidak termanipulasi oleh hawa nafsu dan syahwat yang rentan diperalat setan. Misalnya, untuk tebar pesona, ujub, riya dan takabur.

Demi kasih sayangNya, Sang Maha Pengatur sesungguhnya telah memberi petunjuk khusus agar semua hamba ikhlas beribadah kepadaNya. Petunjuk itu sekaligus berfungsi sebagai pencegah dan penangkal supaya nilai pengabdian kita aman dari kesia-siaan. Tetapi, untuk menyempurnakan ibadah itu bagi insan yang sudah dewasa (akil baligh) mesti atas kemauan pribadi masing-masing. Untuk anak-anak masih menjadi tanggung jawab walinya. Inti petunjuk Allah Swt agar kita ikhlas beribadah ialah menjunjung tinggi Trilogi Tawakal kepadaNya.


Antara Hamba dan Khalifah
Ada qalam Ilahi yang mengingatkan kita agar senantiasa waspada, bahwa jerih payah yang dikira sebagai perbuatan terbaik pun ternyata bisa sia-sia. Salah satu indikasinya dalam kehidupan nyata ialah makin menipisnya rasa keberkahan sebagai manusia seutuhnya. Sedikit saja mengalami ketidak-puasan menjadi melankolis. Jika sukses lantas lupa diri, tapi cuma sesaat dapat merasakan nikmatnya, sehingga kian terhanyut oleh beragam kesibukan untuk mencari kepuasan. Kecendurungannya semakin mengutamakan orientasi duniawi, mengesampingkan pertumbuhan keluhuran jiwa.

Siapa pun yang kurang ajar berani memutar balik ketentuan Allah Swt bahwa yang utama adalah kehidupan akhirat tanpa melupakan keperluan di dunia, pasti terkena akibatnya. Di antararanya ialah akan merasakan kecenderungan keadaan seperti serba bertentangan dalam segala hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Kenyataan menunjukkan, yang paling dekat dengan setiap orang sesungguhnya ialah Al-Khaliq, setelah berumah tangga tentu saja pasangannya, sahabat, mitra kerja dan seterusnya. Realitas itu hanya dapat dirasakan kebenarannya bila kita berusaha sungguh-sungguh secara berkesinambungan (istiqamah) sampai ikhlas menjadi hamba Allah Swt, sebagai bukti pengabdian (ibadah) kepadaNya. Tetapi, fakta itu bisa terasa lain manakala orientasi hidup kita berubah dari yang seharusnya untuk ibadah sebagai hamba Allah, menjadi pecinta dunia (hubbud dunya). Semua kenyataan dan yang seharusnya itu tanpa sadar tergantikan oleh segenap kebutuhan yang bersifat duniawi atas dorongan hawa nafsu yang diperdaya setan.

Para pecinta dunia umumnya menggunakan pembenaran polahnya berdasarkan penggalan awal QS 28 (Al-Qashash): 77 untuk meneguhkan keyakinannya, tapi mengesampingkan bagian akhir ayat tersebut. Lebih dari itu, mereka menghindar dari perintah kaffah (menyeluruh, komprehensif) dalam mengambil dalil. Terkesan enggan mengikuti banyak Ayat dan Hadits yang menunjukkan bahwa akhirat lebih baik daripada dunia, tapi bukan berarti harus membenci atau menjauhinya. Sebab, alam nyata ini merupakan tempat beribadah kepada Al-Ahad dan berbuat baik untuk diri sendiri serta orang banyak (amal shalih) menurut ketentuan Dia dan RasulNya, yang nilai atau hakikatnya menjadi bekal bagi kehidupan di akhirat.


Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. [QS 28 (Al-Qashash): 77].

Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. [QS 17 (Al-Israa’): 21].

Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. [QS 87 (Al-A’laa): 17].
Nabi saw bersabda: “Umat Islam nanti akan seperti santapan di atas meja yang diperebutkan oleh banyak pihak.” Para sahabat bertanya: “Apakah karena saat itu jumlah kami sedikit, ya Rasulullah?” Jawab beliau: “Tidak. Bahkan jumlah kalian banyak, tetapi ibarat buih di lautan dan Allah mencabut rasa takut dari dada musuh-musuhmu terhadap kamu, juga Allah menancapkan penyakit wahn ke dalam hatimu.” Bertanya lagi para sahabat: “Apakah penyakit wahn itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu penyakit cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud)

Ketika seseorang terpincut menjadi pecinta dunia, beribadah dan beramal shalih pun cuma dengan perasaan iman yang tipis. Tujuannya boleh jadi hanya untuk membujuk Al-Khaliq agar mengabulkan doanya yang dominan bermuatan duniawi. Atau cuma karena takut siksaanNya belaka, bahkan bisa supaya dipuji oleh manusia (riya). Motivasi itulah, antara lain, yang menjadi tabir batiniah penghalang khusyu dan istiqamahnya ibadah, karena yang dicari adalah kesenangan duniawi.

Dari awal, mereka menuntut rasa nyaman untuk beribadah dan beramal shalih. Padahal, kesenangan itu seharusnya diperoleh sebagai keberkahan setelah melaksanakan ibadah dan amal shalih dengan ikhlas serta istiqamah. Bila sejak permulaan merasa tidak nyaman, mereka menjadi enggan beribadah dan beramal shalih bagi peningkatan kemaslahatan bersama. Apabila disemangati dengan berbagai motivasi sampai mau bareng-bareng melaksanakan pun, cuma selama sesuai dengan seleranya saja. Ketika diingatkan agar mengikuti ketentuan yang berlaku, malah bisa tersinggung dan kembali menjadi enggan lagi.

Dalam suasana pertentangan seperti itu, keberadaan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang pun tak dapat dirasakan kehadiranNya. Padahal Dia menegaskan lebih dekat kepada setiap orang daripada urat lehernya masing-masing [QS 50 (Qaaf): 16], bahkan mendinding, melapisi, membatasi manusia dengan hatinya pada semua insan [QS 8 (Al-Anfaal): 24]. Kalau perasaan terhadap Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang saja demikian, maka dapat dimaklumi bila semakin jauh dengan pasangan rumah tangga, sahabat, mitra kerja dan seterusnya.

Pelariannya ada yang menenggelamkan diri pada beragam kesibukan dengan konsekuensi makin menipis bahkan hilangnya kepercayaan. Bagaimanapun setiap orang mempunyai keterbatasan. Ketika kapasitasnya tidak memadai untuk memenuhi banyak tugas yang terlanjur sudah disanggupinya, akan berpengaruh pada pribadinya dan semua pihak terkait.

Ada pula yang menjauhkan diri dari tanggung jawab kebersamaan sebagai umat manusia. Fokus perhatiannya dalam hidup ini hanya dirinya sendiri dan orang-orang yang dapat menyenangkannya saja.

Di antara tipe pertama maupun yang kedua, semula ada yang mengutip pribahasa lama “Anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Waktu masih giat dalam kebersamaan untuk beribadah dan beramal shalih, mereka menganggap dirinya sebagai anggota kafilah. Para komentator apalagi yang enggan berbuat untuk kebersamaan dituding sebagai ... . Mereka sangat menyayangkan orang yang keluar dari kafilah atau jamaah. Alasannya, karena semakin berpeluang menjadi sombong lantaran merasa lebih baik dari pihak lain, dapat tergelincir jadi penggunjing dan pencela, dengan akibat kian enggan berbuat baik secara nyata untuk orang banyak sebagai pelaksanaan perintah Allah Sang Pemberi Nikmat tak terhingga.

Dalam suasana jiwa pertentangan, cuma sesaat-sesaat saja dapat menikmati ketenangan, yaitu ketika beroleh kepuasan baru sesuai yang diinginkan semata. Selanjutnya selalu menuntut kepuasan aktual tanpa batas, sehingga sangat sulit untuk mampu menikmati kepuasan sejati apalagi kebahagiaan hakiki berkesinambungan yang bersumber dari hak prerogatif anugerah Sang Maha Pemberi Keberkahan.

Sebagai hamba maupun khalifah Allah di bumi [QS 2 (Al-Baqarah): 30], orientasi semua insan seharusnya untuk beribadah kepadaNya. Ibadah berasal dari kata abid, artinya hamba atau abdi, menjadi penghambaan atau pengabdian kepada Al-Khaliq. Untuk melaksanakannya ada yang sudah baku aturannya (mahdhah) dan tidak baku ketentuannya (ghairu mahdhah).

Urusan duniawi pun bisa menjadi bernilai ibadah bila diniatkan karena Allah Swt dan dilaksanakan menurut aturan yang berlaku atau tidak melanggarnya, yaitu ketentuan yang bersumber dari Dia, RasulNya, penguasa (ulil amri), norma susila dan profesionalisme. Semua itu merupakan pengejawantahan rahmatNya sebagai pengarah pada kebaikan (hasanah). Bukankah Allah Swt dan RasulNya menunjukkan, kita hanya berbahagia berkat rahmat Dia yang diwujudkan menjadi kebaikan? Walaupun demikian kita juga diajarkan untuk rendah diri kepadaNya dengan senantiasa berdoa: “Ya Allah ya Tuhan kami, anugerahkanlah kebaikan kepada kami di dunia dan akhirat.”

Apabila sukses menjadi hamba Allah, setiap orang pantas menjadi khalifahNya. Kelayakan merasa jadi khalifahNya dipercayakan kepada individu insan masing-masing. Tentu saja ada kriterianya, yaitu berdasarkan totalitas (kaffah), kualitas dan istiqamah penghambaan sebaik-baiknya kepada Al-Khaliq, dengan pengejawantahan pemberdayaan semua yang diamanahkan kepadanya untuk dan atas nama Allah Swt.

Konon, karena sangat hati-hati (wara’) mengenai makna khalifah Allah, generasi muslim terbaik angkatan pertama jarang membicarakannya. Mereka pantang mengaku dirinya yang paling pantas menyandang kehormatan itu. Pasalnya, Al-Khaliq memang sudah mencanangkan setiap orang adalah khalifah Dia atau wakilNya di dunia. Masalahnya, setan yang bertabiat hasad (iri, dengki) pun telah bersumpah sampai kiamat akan terus menghasut manusia agar lalai kepada Al-Ahad. Provokasi mahluk terkutuk itu kepada setiap insan di antaranya ialah agar dirinya merasa lebih baik dari orang lain, sampai banyak pihak berebut pengakuan bahwa ia yang paling layak menjadi khalifah, yang hakikatnya menuntut masyarakat supaya menuruti keinginannya.

Merasa lebih baik dari orang lain sebagai kesombongan, sangat dimurkai Allah Swt. Jelas, manusia yang sombong adalah orang yang sedang terselimuti (kafir, kufur) oleh pengaruh hawa nafsunya yang diperalat setan. Pelanggaran berat terhadap perintah dan larangan Sang Maha Pengatur itu, bagi insan yang melakukannya sama dengan teramat lalai kepada Dia. Padahal ketentuanNya sangat tegas. Al-Ahad akan melupakan orang yang lalai kepadaNya [QS 59 (Al-Hasyr): 19]. Caranya: insan itu dijadikan tidak mampu menerima rahmat sebagai satu-satunya pengarah pada kebaikan, karena terselimuti oleh keburukan sifat dan tabiat lantaran keingkarannya. Akibatnya, ia selalu merasa benar berdasarkan pendapatnya sendiri, bukan berkat kesungguhan dan istiqamah memahami, menghayati serta mengamalkan petunjuk Allah Swt dan RasulNya. RahmatNya yang Maha Suci sebagai pengarah pada kebaikan, mustahil dapat menyatu dengan keburukan dampak keingkaran seseorang, kecuali atas pertolongan khusus dari Dia.


Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. [QS 18 (Al-Kahfi): 103-105].
Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dia-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar." [QS 49 (Al-Hujuraat): 17].
Hai anak Adam, luangkan waktu untuk beribadah kepadaKu, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku menghindarkanmu dari kemelaratan. Kalau tidak, Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan kerja dan Aku tidak menghindarkanmu dari kemelaratan. (HQR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Barangsiapa takut kepada Allah, maka Dia akan menjadikan segala sesuatu takut kepadanya. Barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah menjadikannya takut kepada segala sesuatu. (HR Baihaqi).

Manusia yang tidak takut kepada Allah Swt akibatnya bisa separah Fir’aun, sampai menuhankan dirinya sendiri dan minta disembah orang banyak. Contoh lain ialah Hitler, yang mengaku rasnya paling unggul. Diktator itu merasa berhak berlaku semaunya kepada bangsa-bangsa bukan kroninya, tetapi ia juga sukses mengajak banyak pihak untuk berbuat serupa sampai mengobarkan Perang Dunia. Kualatnya, walaupun selalu berusaha supaya tampak perkasa, setelah mengalami kekalahan telak dia putus asa lalu bunuh diri. Memang banyak bukti, rasa percaya diri saja tidaklah dapat menjamin stabilnya ketegaran manusia. Sebab, setiap orang suatu waktu pasti labil. Karena itu, seharusnyalah kita selalu bergantung kepada Dzat Yang Maha Stabil. Allah As-Shamad.

Keengganan bergantung kepada Allah merupakan permulaan menuhankan hawa nafsu [QS 25 (Al-Furqaan): 43-44, QS 45 (Al-Jaatsiyah): 23-26], yang kemudian menuhankan dirinya sendiri. Semua insan sudah tahu bahwa tidak mungkin ada di dunia tanpa diciptakan oleh Al-Khaliq. Satu jam saja mustahil dapat hidup kalau ruhnya dicabut. Seluruh daya dan kemampuan pun hanya berkat pertolongan Dia. Tetapi, masih juga ada orang sombong yang mengingkari bergantung kepadaNya. Pembangkangan itu sama dengan menolak kehendak Dia menciptakan manunsia untuk beribadah kepadaNya, lantaran terpincut oleh kesenangan duniawi semata.

Agar selamat dari syirik menuhankan hawa nafsu, orang beriman diperintahkan melaksanakan ajaran Islam semakin kaffah, supaya ikhlas menaati semua perintahNya dan menghindarkan seluruh laranganNya. Bila tidak, kita bisa terbajak sedikit demi sedikit oleh hawa nafsu yang diperdaya setan. Jangan lupa, para ulama mengibaratkan hawa nafsu sebagai “musuh yang disayangi” karena dapat memberikan kesenangan sesaat, tapi akibatnya teramat fatal. Bisa membajak diri atau pribadi sebagai manusia seutuhnya, keluarga, dan banyak lagi yang diamanahkan kepada kita. Nikmatnya sesaat, namun dalam waktu lama terasa hampa, tanpa hadirnya rasa diberkahkan. Karena tak kunjung dapat menikmati kebahagiaan hakiki, maka pemuja hawa nafsu cenderung semakin egois, ambisius dan materialistik. Meskipun berpotensi membahayakan, karena hidupnya harus berlangsung terus ia jalani juga dengan resiko sering terkena musibah lantaran kerap melakukan kesalahan.

Allah Swt menegaskan, semua musibah yang menimpa seseorang adalah akibat ulah dirinya sendiri [QS 4 (An-Nisaa’): 30, QS 57 (Al-Hadid): 22]. Bila kita mau introspeksi, insya Allah merupakan pertanda baik. Kesadaran itu hadir sebagai pengejawantahan ruhani, karena oleh Al-Khaliq kita dihidupkan dengan ruh milik Dia. Derajat ruh kita yang lebih tinggi daripada malaikat, setiap saat merindukan kedekatan dengan Sang Maha Pencipta, sehingga bila mendapat kesempatan akan melesat mengorbitkan kesadaran kita kepadaNya. Kita juga sudah dibekali ilham untuk bebas memilih kebaikan atau keburukan menurut ketentuan Allah Swt dan RasulNya [QS 91 (Asy-Syams): 8]. Pilihan itu harus atas kemauan sendiri [QS 18 (Al-Kahfi): 29, QS 13 (Ar-Ra’d): 11].

Ruh milik Allah Swt dan Agama Dia fitrahnya sama, berasal dari Sang Maha Benar (Al-Haq). Karena itu, agar beroleh keridhaanNya, kita wajib menjalani kehidupan ruhani berdasarkan kebenaran petunjuk Dia dan RasulNya. Sebaliknya, kita harus selalu mengendalikan hawa nafsu yang mudah diperdaya setan, lantaran senantiasa menyeret pada keburukan. Kalau pilihan kita pada yang benar itu kuat dan istiqamah, kehidupan kita akan membaik. Apabila kita dekat dengan orang shalih, insya Allah akan tersemangati untuk menguatkan kesadaran dan istiqamah, sampai beroleh taufik dan hidayah menjadi shalih pula.

Sekiranya mau merenung apalagi menafakuri, insya Allah bakal tersadarlah kita bahwa kehadiran setiap orang ke dunia ini mutlak hanya atas kehendak Al-Khaliq. Tidak ada peran insan yang bersangkutan sedikit pun. Faktor orang tua cuma menjadi penyebab. Banyak pasangan suami istri yang tidak Dia izinkan tak mampu menghasilkan keturunan. Kesadaran semacam ini merupakan modal awal bertawakal kepada Allah Al-Ahad.


Trilogi Tawakal kepada Allah

Tawakkal terambil dari kata wakila atau wakala, artinya mewakilkan. Setelah diberi imbuhan ta menjadi tawakkal, dalam bahsa Indonesia jadi “tawakal” bermakna menyerahkan atau berserah diri. Maksudnya ialah menyadari dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan bahwa kita bergantung seutuhnya kepada Al-Khaliq.

Sebagaimana perintah Allah Swt agar orang beriman melaksanakan ajaran Islam secara kaffah [total – QS 2 (Al-Baqarah): 208], maka segenap pengejawantahan kemanusiaan kita yang diniatkan di dalam hati (qalbu), diucapkan dengan mulut, dilakukan melalui perbuatan anggota badan (sebagian atau seluruhnya) haruslah dinisbahkan (dengan merasa bergantung penuh) kepadaNya.

Terkait dengan Iman, Islam dan Ihsan, sikap tawakal semestinyalah berlaku pada ketiganya. Sebab, Iman merupakan dasar Islam. Syarat pertama untuk memeluk Islam wajib mengucapkan dua kalimah Syahadat, maknanya pengakuan beriman bahwa tiada Tuhan selain Allah Al-Ahad, dan Muhammad adalah utusanNya. Orang yang sudah menjadi penganut agama Islam pun diperintahkan agar memasukkan iman ke dalam qalbunya [QS 14 (Al-Hujuraat): 14].

Qalbu atau hati disimbolkan sebagai gambaran sesuatu yang terdalam dari manusia, antara lain menjadi pusat rasa (af idah, fuad). Amalan (hasil kerja) qalbu (fuad) berupa perasaan, menjadi pendorong (motivasi) pemikiran dan perbuatan seseorang, sehingga kinerja akhirnya berpengaruh pada jiwa. Awalnya (fitrah) jiwa setiap insan sudah beriman [QS 7 (Al-A’raaf): 172]. Sampai saat dilahirkan masih dalam keadaan suci [Hadits Riwayat Imam Bukhari]. Faktor lingkungan terhadap akal, rasa dan raganyalah yang kemudian mempengaruhi jiwa bani Adam as sampai akhir hayat masing-masing. Karena itu, penghargaan Al-Khaliq kepada manusia dimulai pada jiwanya yang telah tenang berkat keshalihannya [an-nafs al-muthmainnah – QS 89 (Al-Fajr): 27-30].

Shalih, arif, ihsan, adab dan ahlaq yang terpuji adalah hasil proses Iman dan Islam. Semuanya itu harus menghasilkan amal shalih, yaitu segala perbuatan baik yang bermanfaat untuk diri pibadi dan orang banyak, bukan sebatas basa basi dan sopan santun belaka. Amal shalih setiap insan akan diperhitungkan dengan dosa serta kesalahan masing-masing. Penilaian yang pasti benar mengenai pemahaman, penghayatan dan pengamalan ketiganya – Iman, Islam, Ihsan – hanyalah menjadi hak Sang Maha Benar. Kita hanya melaksanakan sungguh-sungguh dan istiqamah syarat, rukun serta adabnya menurut ketentuan Dia dan RasulNya. Bahkan ukuran keikhlasan ibadah pun kita serahkan kepadaNya, karena cuma Dia Sang Maha Penentunya. Itulah hakikat bertawakal kepada Al-Ahad dalam pemahaman, penghayatan dan pengamalan Iman, Islam, Ihsan. Wallahu’alam.

Karena setiap orang terkena ketetapan Sunnatullah tentang ruang dan waktu, maka perbuatan (amalan) kita mengikuti pola permulaan, proses pelaksanaan, dan akhir pekerjaan. Itu sebabnya, tawakkal ala Allah pun seharusnya diberlakukan pula pada tiga tahapan tersebut.

Di awal, tawakal menjadi amalan hati atau qalbu, satu tahapan dengan proses azam (membulatkan tekad) yang apabila hendak dilaksanakan berlanjut menjadi niat. Sesuatu yang ditekadi dan diniati untuk dikerjakan itu disadari sepenuhnya hanya dapat terjadi berkat pertolongan Allah Swt, sehingga sejak sebelum dikerjakan pun hakikatnya pantas dinisbahkan (dipersembahkan) kepadaNya. Dengan demikian terbuktilah bahwa firmanNya dalam QS 3 (Ali ‘Imran): 159 Maha Benar, karena memerintahkan bertawakal dari mulai azam.


Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyintai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.

Selaku Peragawan Agung Al-Qur’an, Rasulullah saw pun memberikan keteladanan bertawakal pada permulaan perbuatan.

Apabila hendak bepergian, Nabi saw berucap: “Dengan nama Allah, aku bertawakal ...” (HR …).
Ibnu Abbas ra menuturkan: “Ketika ayat ini turun, ‘Dan jika kamu mengungkapkan apa yang ada di hatimu atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan denganmu tentang hal itu [QS 2 (Al-Baqarah): 284],’ para sahabat merasa keberatan karena sebelumnya (kandungan) ayat tersebut tidak pernah masuk pada hati mereka. Maka Nabi saw bersabda: ‘Ucapkanlah sami’na wa atho’na wa aslamna – kami dengar, kami patuh dan kami berserah diri. Aku telah melakukannya.” (HR Muslim).

Jelas, penegasan Al-Ayat dan contoh As-Sunnah itu merupakan pengejawantahan rahmat Allah, untuk membantu keikhlasan niat al-insan manakala hendak berbuat baik. Bukankah nilai amal seseorang ditentukan oleh niatnya? Seperti diketahui, niat baik sudah dicatat sebagai perbuatan mulia walaupun belum dilaksanakan. Apabila dikerjakan dalam perbuatan konkret, niat baik itu telah berlaku sebelum pengamalannya berproses sampai tuntas sehingga aman dari kerusakan, dan beroleh nilai tambah atas pelaksanaannya secara nyata.

Akan tetapi, jangan pula karena niat baik itu baru dicetuskan di hati saja sudah diberi pahala lantas menebarnya dengan pengumuman kepada pihak lain. Ada ulama mengingatkan, meskipun hal itu dimaksudkan untuk memotivasi, tetap haruslah hati-hati. Pertama, karena boleh jadi termasuk ujub dan riya. Bukankah ujub tergolong sombong, serta riya adalah syirik samar? Kedua, sebab memotivasi atau mengajak pada kebaikan juga kita pribadi hendaknya sedang atau sudah mengerjakannya. Allah Swt murka kepada orang yang cuma menyuruh pihak lain berbuat baik, sedang dirinya sendiri tidak mengerjakan [QS 61 (Ash-Shaff): 2-3]. Ketiga, mungkin pula penebaran niat baik yang diumumkan itu tergolong nadzar, yang bila tidak dilaksanakan bisa terkena kafarat (kualat). Wallahu’alam.

Lebih dari itu hendaknya kita benar-benar menyadari bahwa agama Islam bukanlah aliran kebatinan. Bertawakal pun tidak cukup hanya di dalam hati, tapi harus dibuktikan pula dalam perbuatan. Pada proses pelaksanaan perbuatan, makna berserah diri menjadi “tunduk dan patuh atau taat – aslama, islaman”. Bukankah salah satu arti harfiah “Islam” sama dengan “berserah diri”? Hakikat tawakal pada pelaksanaan sedang berlangsung sama dengan ketika masih azam, menyadari dengan penuh kerendahan diri bahwa dapat berlanjutnya pekerjaan itu sampai dengan pelaksanaannya hanyalah berkat pertolongan Allah Swt.


(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri – aslama – kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS 2 (Al-Baqarah): 112].
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah – aslim!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh – aslamtu – kepada Tuhan semesta alam". [QS 2 (Al-Baqarah): 131].
“Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri". [QS 14 (Ibrahim): 12].
Barangsiapa memurkakan Allah untuk meraih keridhaan manusia, maka Allah murka kepadanya dan membuat orang yang semula meridhainya menjadi benci kepadanya. Namun barangsiapa meridhakan Allah (meskipun) dalam ketidak-sukaan manusia, maka Allah akan meridhainya dan meridhakan kepadanya orang yang pernah membencinya; sehingga Allah meluhurkannya dengan keindahan ucapan dan perbuatan dalam pandangan Dia. (HR Thabrani).

Setelah diniatkan dan tuntas dilaksanakan, pekerjaan pun berakhir. Semua urusan atau persoalan dikembalikan lagi kepada Allah Swt, karena Dia-lah Yang Maha Menentukan segala sesuatu.

Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. [QS 3 (Ali ‘Imran): 109].

Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan. [QS 34 (Saba): 14].
Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia. [QS 40 (Al-Mu’min): 68]

Bagaimana pun hasil akhirnya, kita harus ikhlas menerima kenyataannya dan menyerahkan nilai hakikatnya kepada Allah Swt. Sekarang kita bisa plong menerima ketentuan Hadits Gharib (asing) yang memerintahkan bertawakal setelah berikhtiar. Walaupun kategori hadits ini gharib, sebab salah seorang perawinya ada yang tidak dikenal alias asing, kita pertimbangkan secara proporsional.

Segenap tahapan pekerjaan yang dilaksanakan itu sudah mengikuti seluruh petunjuk Sang Maha Pengatur dan RasulNya. Dari mulai azam serta niat, selama proses penggarapan, dan sampai tuntasnya secara hakiki telah diserahkan kepadaNya. Insya Allah Dia menjadikannya sebagai amal ibadah kita yang ikhlas.

Juga insya Allah maknanya sama dengan kita senantiasa merasa dalam pengawasan Dia. Sebab, kita semua pun diarahkan untuk mencapai ihsan – berperilaku seolah-olah dapat melihat Al-Ahad, bila tidak mampu yakinilah senantiasa dalam pantauanNya. Untuk melatihnya ada tip sederhana dari Sesepuh Pengajian Tawakal, almarhum H Permana Sastrarogawa: Biasakan menjadikan Allah Nomor Satu dalam memahami, menghayati dan mengamalkan segala sesuatu. 

Forum Komunikasi Tawakal

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP