FKT

Payung Kasih Sayang


Indahnya Sunnatulah makin menakjubkan bagi setiap insan yang dapat menikmati dan mensyukurinya. Contohnya, antara lain, siapa yang silaturahimnya rajin dan kian berkualitas karena menjunjung tinggi Ketentuan Sang Khaliq yang menciptakan manusia berkelompok-kelompok, niscaya meraih kemaslahatan semakin luas.

Kenyataan menunjukkan, pelaksanaan silaturahim dengan saling berkunjung dan atau bertegur sapa saja menghasilkan banyak keberkahan. Di antaranya ialah menjadi saling mengenal, mengerti, memahami dan menghargai. Dari yang sederhana ini, hubungan pun terus berkembang tanpa batas, meliputi semua upaya pemenuhan kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan seterusnya.

Agar keberkahan silaturahim bukan hanya berlangsung di dunia, melainkan juga supaya bersambung terus sampai ke akhirat dan berkembang sampai 99 kali, Nabi Saw memberikan petunjuk jitu, yakni dengan meniatkannya karena Allah Swt.

Untuk menggugah kebersihan niat silaturahim agar murni karena Allah Swt semata, serta guna saling menyemangati pengamalannya,
250 jamaah dan pengurus Pengajian Tawakal Seluruh Indonesia pada 28-29 November 2009 menggelar Silaturahim Nasional (Silatnas) dan Tafakur 2009, di Kaliurang, Yogyakarta. Fasilitator Silatnas ini ialah Forum Komunikasi Tawakal (FKT).

Sejak dibentuk oleh jamaah dan para penyelenggara Pengajian Tawakal se Pulau Jawa pada 25 Desember 2006 di Jakarta, FKT memang diharapkan menjadi payung tempat bernaung bagi semua insan yang mau bersama-sama belajar bertawakal kepada Allah Swt. Kerendahan hati menganggap diri pribadi dan orang lain sama-sama belajar bertawakal kepada Allah Swt itu penting, karena penilaian mutlak mengenai kebenarannya hanya hak Dia. Maka semua pihak yang bergerak di Jalan Allah Swt selayaknya diperlakukan sebagai sahabat supaya saling menyayangi.

Alhamdulillah, Sang Maha Pengatur lagi Maha Pemelihara telah mengabulkan harapan itu. Melalui fajar kasih sayang yang Dia singsingkan di Kaliurang, pada sidang paripurna 29 November 2009 Silatnas & Tafakur 2009 Pengajian Tawakal Seluruh Indonesia, para pesertanya
bermufakat bulat mengukuhkan keberadaan FKT sebagai payung pelindung untuk bersilaturahim, guna saling memelihara rasa kasih sayang.

Mereka mengamanahkan kepengurusan forum ini antara lain kepada
Prof. Dr. H. AH. Asdie, Sp PD. K-EMD sebagai Ketua Umum, Prof. Dr. H. Jusuf Misbach, Sp S (K) FAAN menjadi Wakil Ketua Umum, Dr. H. Entjep Hadjar Sp THT sebagai Sekretaris Jenderal, dan Prof. Dr. Hj. Nurfina Aznam, SU. Apt menjadi Wakil Sekretaris Jenderal. Disepakati, untuk memudahkan kiprahnya, kedudukan domisili FKT didekatkan dengan tempat tinggal ketua umumnya. Maka, untuk lima tahun ke depan, forum ini beralamat di Yogyakarta.

FKT merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Keagamaan. Masyarakat yang memerlukan pelayanannya disilahkan berhubungan langsung dengan Pengajian Tawakal yang sudah tersebar di seluruh Indonesia, karena kegiatan dakwah untuk umat memang berlangsung di sana.


* * *


Pengajian Tawakal sudah berkiprah cukup lama. Sesepuhnya ialah almarhum H. Permana Sastrarogawa, seorang mantan guru dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Permulaan dakwahnya berjalan dari rumah ke rumah, mulai dari kabuputen kelahirannya di Banjar, Jawa Barat, terus ke Ciamis, Tasikmalaya, Bandung dan Jakarta. Atas permintaan orang banyak, pada 1972 ia mengasuh Tawakal Studi Club di Plaza Indonesia (dulu Hotel Asoka) Jl. MH Thamrin, Jakarta.

Setelah pesertanya makin melimpah, pada
1974 didirikanlah Pengajian Tawakal di Rawabambu, Pasarminggu, Jakarta Selatan. Penyebarannya ke seluruh Indonesia dan luar negeri, atas inisiatif dan tanggungan mereka yang telah merasakan manfaat pengajian ini.

Maksud dan tujuan pendirian Pengajian Tawakal
hanya untuk bersama-sama belajar meningkatkan iman, takwa serta tawakal berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sesepuh sengaja mengangkat aspek tawakal hanya kepada Allah Swt, sebagai upaya untuk mengisi kekosongan dakwah, yang cenderung kurang mendapat perhatian dari para da’i dan mubaligh.

Kecenderungan penjelasan dakwah secara umum mengenai bertawakal kepada Allah Swt perlu dilengkapi,
“agar tidak mengesankan seperti pencuri yang terpaksa mau menyerah kepada polisi setelah tidak mampu melawan atau melarikan diri”. Melengkapinya ialah dengan melaksanakan perintah Allah Swt dalam QS 3 (Ali Imran): 159, yang memerintahkan agar bertawakal kepadaNya sejak kita berbulat tekad (azam) untuk mengerjakan sesuatu.

Hadits yang shahih selaku penjelas Al-Qur’an pun senada dengan ayat tadi. Contohnya ialah uraian hadits riwayat Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi yang bebunyi:
“Orang yang bertawakal kepada Allah Swt itu beroleh keberkahan seperti burung yang terbang sejak pagi hari dengan perut kosong, pulangnya petang dengan perut kenyang”. Kata-kata sejak atau di pagi hari dalam keadaan perut kosong, berarti mulai dari awal peperbuatan.

Agar mampu bertawakal hanya kepada Allah Swt, jamaah Pengajian Tawakal mengutamakan
dzikrullah sebagai nawafil (ibadah tambahan). Tentu, berdzikir mengingat Allah Swt ini dilakukan dengan lebih dulu melaksanakan semua ibadah lain yang sudah baku ketentuannya.

Sesuai petunjuk Al-Qur’an, antara lain menurut QS 7 (Al-A’raf): 205, cara berdzikirnya ialah dengan dihayati di dalam
nafs (diri/jiwa yang organ vitalnya terletak di dada, yakni qalb atau hati), dengan tadharu (perasaan penuh rendah diri) dan khauf (sungguh harap-harap cemas) hanya kepada Allah Yang Maha Esa. Yang dihayati (dihidupkan) di dalam diri atau jiwa terutama ialah Sifat-sifat Allah, sebagai upaya untuk meniru AhlakNya Yang Maha Mulia, supaya menjadi jiwa atau kepribadian penghayat dan pengamalnya. Mengingat Sifat-sifat Allah Maha Suci, maka bersamaan dengan rajin berdzikir itu dianjurkan agar membersihkan diri dengan membuktikan iman, yaitu melaksanakan takwa sebaik-baiknya.

Sesepuh berulang kali meyakinkan, bahwa Allah Swt akan menambah rahmat dan keberkahan kepada setiap insan yang tulus berniat untuk bertawakal kepadaNya, prilakunya bersih, rajin berdzikir dan giat menolong agamaNya. Keberkahan itu tiada tara.

Yang tampak pada kepribadiannya sendiri, antara lain ia terkesan semakin disenangi dan disegani oleh banyak orang. Jiwanya kian mempesona berhiaskan sifat asih, asah dan asuh. Pola dakwahnya yang mengedepankan dzikrullah di lingkungan perkotaan, pada awalnya cenderung dicela karena dianggap asing. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, kini dzikir sudah menjadi trend nasional. Bedanya, berdzikir yang dipopulerkan oleh pengajian ini bukan sekadar untuk berdzikir, melainkan bertujuan tunggal hanya untuk bertawakal kepada Allah Swt.

Hikmah bagi insan yang berbuat kebajikan seraya bertawakal kepada Allah Swt antara lain ialah
tidak ada kekhawatiran dan sedih hati [QS 2 (Al-Baqarah): 112]. Mengapa? Karena Dia menjamin akan mewakili urusan dan mencukupi keperluan hambaNya [QS 33 (Al-Ahzab): 3, QS 65 (Ath-Thalaq): 3].


* * *


Sang Maha Pengatur lagi Maha Pemelihara mewakili urusan dan mencukupi keperluan hamba melalui Sunnatullah (Ketentuan Allah). Lewat penetapan perputaran benda-benda alam di galaxi Bimasakti, contohnya, Dia mengatur kecukupan rezeki mahluk hidup di bumi. Manusia yang Dia canangkan menjadi penguasa bumi, dibekali agama (ad-din) dan utusan (Rasul penyampai risalahNya dan teladan pelaksanaannya). Fitrah alam dan agamaNya bersifat tetap.

Manusia juga ketika dilahirkan masih bersifat fitrah. Karena masih suci, waktu di dalam kandungan bunda ia mampu ”dihadapkan” kepada Sang Maha Suci, untuk menerima amanah iman dengan bersyahadat bahwa Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa [QS 7 (Al-A’raf): 172]. Yang disumpah ialah jiwa (anfus, nafs) insani, yaitu sosok yang tercipta dari fisik janin setelah ditiupkan ruh dari perbendaharaan Allah Swt.

Selama dalam kandungan bunda, semua manusia benar-benar dalam keadaan bertawakal kepada Allah Swt. Penciptaannya, kehidupannya, dan bagaimana perjalanannya lebih lanjut sama sekali bukan atas kemauannya sendiri, melainkan mutlak seluruhnya hanya ditentukan oleh Sang Khalik, baik melalui mekanisme Sunnatullah maupun atas kehendakNya yang bersifat khusus untuk seriap orang. Karena benar-benar bertawakal kepada Allah Swt, kala itu manusia disebut al-insan, berasal dari akar kata al-uns yang artinya dekat dengan Dia.

Kedekatan atau kerenggangan hubungan seseorang dengan Allah Swt setelah dewasa (akil balig), ditentukan oleh kualitas ibadah (pengabdian) insan yang bersangkutan. Itu karena tugas setiap manusia di dunia adalah beribadah kepadaNya. Penilaian tugas ini dimulai setelah seseorang menjadi dewasa, karena ia sudah bisa menentukan pilihan sendiri mau taat atau ingkar. Sebelum dewasa tanggung jawabnya berada di pihak orang tua atau walinya, sehingga pendidikan kepadanya dianjurkan sejak ia masih dalam buaian bahkan mulai dari memilih pasangan calon orang tua yang shalih dan shalihah.

Nilai ibadah seseorang dijamin dikembalikan kepada yang bersangkutan. Tidak akan dikurangi sedikit pun, bahkan sebaliknya ditambahkan berbagai bonus tiada tara. Allah Swt Sang Maha Raja di raja tidak memerlukan apa-apa dari mahlukNya. Pengembalian nilai ibadah itu untuk peningkatan keselamatan, kesejahteraan, kedamaian, harkat dan martabat insan yang bersangkutan di dunia dan akhirat. Semua itu Ia pandu dengan rahmatNya, sehingga penugasan Rasulullah saw mendakwahkan serta meledankan pelaksanaan risalah Islam sebagai agamaNya yang mutakhir dan penyempurnaan dari risalah sebelumnya, disebut sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Seperti diketahui, alam adalah seluruh mahluk selain Sang Khaliq. Dengan demikian Dzat, Sifat dan Perbuatan Allah Yang Maha Esa tiada bandingannya (laisa kamislihi syaiun). DzatNya hanya Ia sendiri Yang Tahu. Agar manusia mengenalNya, Ia hanya menyebutkan Sifat-SifatNya dan menegaskan bahwa bila Dia mengehendaki penciptaan sesuatu tinggal mengucapkan "
Kun fayakun – Jadilah! Maka terwujudlah".

Sang Khaliq menganugrahkan segala ciptaanNya demi kasih sayangNya kepada al-insan. Sifat Ar-Rahim (kasih sayang) meliputi seluruh SifatNya yang Maha Paripurna. Demi kasih sayangNya kepada semua manusia di dunia, Ia mengancam akan memutuskan hubungan kepada orang ysng tidak bersilaturahim dengan sesamanya, terutama dengan orang terdekat, yaitu mulai dari ibu kandung, saudara, dan seterusnya.

Kata “Ar-Rahim” menghasilkan ungkapan “rahmat”, pengarah keberuntungan dari Allah Al-Khaliq bagi orang beriman di dunia dan akhirat. Setiap kebaikan, mutlak hanya berkat rahmat Allah Swt. Di dunia, rahmatNya yang tiada tara sampai kiamat tiba itu, cuma satu bagian saja. Yang 99 bagian lagi hanya Ia peruntukkan khusus bagi orang beriman di akhirat.

Perintah taat kepada Allah Swt, Rasulullah dan
Ulil Amri (pemimpin), jelas berarti melaksanakan semua yang Dia suruh, menghindari yang dilarang, dan menerima ketetentuan yang Ia berlakukan. Dalam hubungan dengan al-insan (Allah Swt menyeimbangkan ibadah dalam hablumminallah dan hablumminannas), Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang mengamanahkan agar manusia saling mengasihi dan menyayangi.

Pembelajaran pengamalan kasih sayang berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah sungguh agung. Para pemimpinnya yang istiqamah mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi dan kelompok, sukses mewujudkan negerinya menjadi baldatun toyibatun warabbun ghafur – adil makmur berlimpah ampunan Ilahi.

Sebaliknya, penyimpangan dari tuntunan Kitabullah dan Sunnaturasul sepanjang sejarah umat manusia hanya mampu menjadikan cita-cita masyarakat adil makmur sebagai mitos belaka. Akibatnya, individu, kelompok, bangsa dan negara makin egois mementingkan diri sendri. Laksana orang dahaga meminum air laut, makin banyak semakin haus. Kian miskin dari rasa nyaman, damai, dan kasih sayang yang tulus. Bicaranya besar menganggap diri khalifah Allah di bumi, tapi gersang dari rasa kasih sayang kepada sesama yang membuat Dia ridha menurunkan karuniaNya.

Karena itu, demikian sebuah riwayat mengungkapkan, selaku orang terdekat Rasulullah saw pun Abu Bakar Siddik ra enggan disebut khalifatullah. Yang dia lakukan malah menyumbangkan semua kekayaannya untuk menolong agama Allah Swt.

Kita semua dilarang berputus asa pada rahmat Allah Swt. Kita diperintahkan untuk memulai kebaikan dari pribadi sendiri, keluarga, tetangga, masyarakat dan seterusnya. Modal utamanya ialah dengan meningkatkan iman, takwa dan tawakal kepada Allah Swt dengan mengutamakan amal shalih agar beroleh karunia tertinggi, yaitu kasih sayang.

Rasa kasih sayang itu kita pupuk dengan bersilaturahim. Bagi yang berkenan bersama-sama belajar bertawakal berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bersilaturahim di bawah payung FKT ini
insya Allah akan bermanfaat. ***

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP