Jujur agar Mabrur

H. Entjep Hadjar, H. A.H. Asdie, H. Jusuf Misbach,
H. Fachruddin, H. Memet R Kusrin, H Edward Pribadi


Bersyukurlah insan yang dapat melaksanakan petunjuk Allah untuk menyetabilkan dinamika mengukir prestasi dan kenyamanannya. Kehidupan yang baik (hasanah) di dunia dan akhirat berkat arahan rahmatNya-lah, yang Dia ridhai agar diwujudkan oleh manusia. Bukan cuma untuk memuaskan kebahagiaan (sa adah) pada keberadaan yang singkat di alam sekarang saja. Apabila mengingkarinya, manusia terkaya dan paling berkuasa di dunia pun ternyata tidak mampu membeli ketenteraman.

Siapa yang tak kenal Fir’aun? Piramidanya saja yang konon menimbun emas permata, selama ribuan tahun masih berdiri kokoh hingga kini. Ia juga sangat beskuasa, bahkan berani menobatkan diri sebagai tuhan [QS 79 (An-Naazi'aat): 24]. Namun raja Mesir itu selama hidupnya selalu takut kekurangan, senantiasa was-was kehilangan segala sesuatu.

Tragisnya pula, martabat manusia yang tidak jujur pada fitrahnya itu di akhir hayatnya  justru sangat terpuruk. Kita ketahui bersama, makna fitrah ialah suci atau asal penciptaan. Fir’aun mengira dapat mencapai rasa nyaman dengan kekayaan, kekuasaan dan menobatkan diri sebagai tuhan. Kenyataannya semua itu tidak mampu memuaskan keinginan dia. Setelah keterlaluan menolak pertolongan Allah, akhirnya ia terkena adzab dan terkutuk menjadi contoh sebagai orang paling kafir sepanjang masa [QS 10 (Yunus): 88-92].

Sebaliknya, insan yang jujur pada fitrahnya sangat dihargai oleh Allah Sang Pemilik Nama dan Sifat Maha Indah lagi Maha Paripurna (Al-Asma Al-Husna). Contohnya ialah Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wassalam (saw –  semoga Allah selalu melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan kepada beliau).

Walaupun dilahirkan dan dibesarkan di tengah bangsa Arab zaman Jahiliyah yang penuh kemunafikan, sejak anak-anak Nabi saw sungguh jujur. Berkat kejujurannya, beliau tumbuh menjadi insan yang disenangi dan disegani oleh manusia. Sebelum diangkat sebagai Nabi dan Utusan Allah (Rasulullah), oleh masyarakatnya beliau dijuluki “Al-Amin”. Insan yang terpercaya lantaran kejujurannya.

Beliau juga menjadi sangat dicintai oleh Asy-Syakur (Sang Maha Menghargai). Nabi saw dijadikan sebagai manusia paling mabrur (diridhai Allah berkat menunaikan titah Dia sebaik-baiknya). Lantaran teramat ridha kepada beliau, Al-Khaliq (Sang Maha Pencipta) sampai menawarkan bukit-bukit di sekitar Mekah untuk diubah menjadi emas.

Allah, malaikat dan miliaran umat Islam seluruh dunia ikhlas bershalawat sepanjang masa kepada Rasulullah saw. Beliau terpilih menjadi pemimpin para nabi, penyebar rahmat kepada seluruh alam, dan teladan perilaku mulia (ahlaqul karimah) bagi semua insan. Para nabi bahkan bersaksi dengan laa ilaaha illa Allah wahdahu laa syariikalah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu.

Al-Haqq (Sang Maha Benar) menampilkan Rasulullah saw dan Fir’aun sebagai contoh untuk pembelajaran tentang insan yang taat dan ingkar pada petunjukNya. Demi kebaikan semua hambaNya, di dunia ini juga Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (Ar-Rahman Ar-Rahim) berkenan menyajikan bukti keberkahan bagi manusia yang taat dan kehinaan orang yang ingkar pada petunjukNya.

Taat dan ingkar adalah ukuran serta pasangan sifat perbuatan. Dari ribuan firmanNya dalam Al-Qur’an, Al-Khaliq antara lain menegaskan bahwa segala sesuatu itu memang Dia ciptakan dengan ukuran tertentu dan berpasangan. 
 

                                                    

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran [Al-Qur’an Surat 54 (Al-Qamar): 49].

Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui [QS 36 (Yaasiin): 36].

Ukuran dari Al-Haqq pasti Maha Benar. Kepastian itu sudah menjadi Sunnatullah (Ketetapan Allah) yang mustahil berubah. Sebab hanya Dia Sang Maha Sumber seluruh kebenaran. Cuma Al-Khaliq yang menciptakan semua mahluk dengan segenap spesifikasinya. Yang mengetahui rahasia kandungan suatu produk tentu produsennya.
 
Sesuai Sunnatullah mengenai ukuran dan pasangan segala sesuatu, perlakuan manusia terhadap kebenaran dari Al-Haqq selalu pro kontra. Senantiasa ada yang jujur mengakui dan menaatinya, juga ada yang mengingkari, memelintir, memanipulasi dan menyangkalnya.

Menurut petunjuk Al-Haqq, ukuran sukses manusia ialah mampu mewujudkan kehidupan yang baik (hasanah) di dunia dan akhirat. Syarat pertama untuk mencapainya harus jujur pada kesucian fitrahnya sebagai insan yang beriman kepada Allah Al-Ahad (Yang Maha Esa). Fitrah itu hanya dapat dipelihara dengan rahmatNya yang Maha Suci (Al-Qudus), sehingga arahan rahmatNya cuma berlaku untuk tujuan yang benar, suci dan mulia. Pedoman tujuan pada kebenaran yang suci dan mulia itu tentu harus berasal dari Sang Maha Benar. Untuk itu Al-Khaliq telah menurunkan beberapa Kitab Suci selaku sumber utama ajaran agamaNya, yang isinya disesuaikan dengan tingkat kecerdasan manusia pada zamannya dan lingkungannya secara terbatas. Pamungkasnya, Al-Haqq menghadirkan Al-Qur’an melalui Rasulullah saw sebagai Kitab Suci ajaran Islam. Selaku penyempurna dari semua agamaNya terdahulu, kandungan ajaran Islam paling lengkap memuat segenap pokok aturan kehidupan yang baik bagi semua insan sepanjang masa, di seluruh dunia.

Sebagai Peragawan Agung Al-Qur’an, Nabi saw mengisyaratkan tanda-tanda insan yang mau baik ialah cenderung kian tertarik mempelajari, menghayati dan melaksanakan agama Allah (diinullah). Semoga kita saling menyemangati untuk memupuk minat itu. Dengan kebersamaan seperti ini insya Allah Dia ridha menghapus kesalahan dan memperbaiki keadaan kita, lalu kian meningkatkan kemampuan pelaksanaan diinullah semakin kaffah (total) dan istiqamah (berkesinambungan).

Dan orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka [QS 47 (Muhammad): 2].


Jasa Umat Terdahulu
Keberadaan setiap insan di alam ini mutlak hanya atas kehendak Al-Khaliq. Tidak ada seorang manusia pun yang terlahir ke dunia karena keinginannya sendiri. Umat Islam selaku pemeluk agama hasil penyempurnaan diinullah sebelumnya, seharusnya jujur mengakui kenyataan ini sebagai salah satu bukti kebenaran imannya kepada firman Allah dalam Al-Qur’an.

FirmanNya antara lain menegaskan, semua insan yang ada sampai sekarang ialah keturunan Nabi Adam alaihi salam (as – semoga Allah selalu melimpahkan keselamatan kepada beliau). Sebelum dilahirkan ke dunia melalui ibunda masing-masing, setiap bani Adam as telah diminta bersaksi bahwa Allah adalah Rabb-nya, tiada Tuhan selain Dia [QS 7 (Al-A’raaf): 172-173].

QS 7 (Al-A’raaf): 172-173 menunjukkan fitrah manusia adalah beriman kepada Allah Al-Ahad, Al-Khaliq, Al-Qudus, Pemilik, Pemelihara dan Pengatur seluruh alam beserta segala isinya. Sebab, Rabb (Sang Maha Pemelihara) alam semesta dengan segala isinya termasuk manusia, hanyalah Dia.


Kejujuran beriman kepada Al-Qur’an berarti meyakini kebenaran seluruh ayatnya. Di antara ayat-ayatnya terdapat perintah Al-Haqq untuk mematuhi Rasulullah saw dan ulil amri (pimpinan yang haq menurut ketentuan Dia dan RasulNya). Taat pada aturan Nabi saw sama dengan mematuhi ketentuan Allah.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu [QS 4 (An-Nisaa’): 59].

 
Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah [QS 4 (An-Nisaa’): 80].
  
Rasulullah saw mendapat mandat untuk menyampaikan, menjelaskan dan meneladankan pelaksanaan petunjuk Allah yang pokok-pokoknya terkandung dalam Al-Qur’an. Alhamdulillah, selaku Nabinya yang terakhir beliau mampu mewujudkan mandat itu dengan sempurna. Karena itu, peran Rasulullah saw secara keseluruhan oleh Al-Haqq dijadikan sebagai suatu kesatuan aturan tata cara (syariat) bagi umat manusia untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Perkataan, perbuatan dan isyarat Nabi saw sebagai penjelasan Al-Qur’an disebut As-Sunnah. Ucapannya saja dinamakan Al-Hadits.

Contohnya, melalui beberapa Hadits beliau mengisyaratkan bahwa insan yang mau baik cenderung semakin senang beramal shalih. Walaupun awalnya sebagai pembelajaran, akhirnya akan mencapai keyakinan bahwa amal shalih itu wajib didasari iman kepada Allah. Segala perbuatan baik yang diniatkan ikhlas karena Dia, pasti beroleh keberkahan tiada tara. Yang dilakukan dengan pamrih pujian manusia, orang yang semula menyenanginya akan berubah membencinya. Dalam Hadits Riwayat Imam Bukhari, Rasulullah saw menegaskan bahwa jiwa setiap insan adalah suci sampai saat ia dilahirkan.

Menurut pemahaman yang disepakati banyak ulama (ijma), peran Rasulullah saw diridhai oleh Al-Haqq dan diikuti al-insan terutama karena beliau sangat jujur. Itu sebabnya, untuk memudahkan umat meneladani ahlaq mulia Nabi saw pun para ulama menempatkan kejujuran sebagai sifat pertama.

Selaku pewaris para Nabi, kaum ulama menyajikan empat sifat paling unggul dari ahlaqul karimah Rasulullah saw, yang juga teringkas dalam kata “Sifat”. Kepanjangannya ialah: Siddik (jujur atau benar), Fathonah (cerdas atau cendekia), Amanah (terpercaya atau tanggung jawab), dan Tabligh (menyampaikan atau dakwah).

Para ulama meyakini, ahlaq mulia Nabi saw adalah berkat pancaran sifat Allah yang berpadu memandu potensi-potensi luhur beliau, karena Rasulullah saw paling kaffah dan istiqamah melaksanakan ajaran Islam. Diyakini pula bahwa Nabi saw dapat menyerap sangat intensif sekitar 36 pancaran sifat Allah, sehingga Sang Maha Agung memuji beliau Berahlaq Agung [khuluqil azhiim – QS 68 (Al-Qalam): 4].

Dalam bahasa Indonesia, arti kata “jujur” ialah lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus dan ikhlas. Pengertian ini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karya instansi yang mendapat kewenangan resmi dari negara (ulil amri) untuk membina bahasa nasional kita.

Pengertian kata “jujur” dari para ulama dan Kamus Besar Bahasa Indonesia ada kesamaannya. Yang terpenting di antaranya ialah mengakui kebenaran firman ­Al-Haqq dengan qalbu, ucapan dan perbuatan. Pengakuan dari lubuk hati yang paling dalam itu diwujudkan dalam ucapan dan perbuatan nyata, sehingga tercipta kebenaran yang indah dan harmoni lahir batin. Orang jujur pasti ikhlas. Insan yang ikhlas masih memerlukan kejujuran. Jujur adalah hakikat ikhlas.

Terkait ibadah kepada Allah, kejujuran merupakan kesungguhan menginginkan keridhaanNya melalui ketaatan melaksanakan perintah dan menghindarkan larangan Dia. Pelaksanaan ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah itu harus sepenuh hati. Insan yang jujur akan mengakui dalam beribadah itu hatinya hadir atau tidak, apalagi Allah Al-Haqq. Karena itu dari mulai menggunakan kebebasan memilih, meniatkan, mengucapkan dan melaksanakan semua upaya yang ingin dimaknai sebagai ibadah haruslah sungguh-sungguh dilatih secara berkelanjutan. Bahkan Rasulullah saw mengingatkan, iman pun sebaiknya senantiasa diperbarui dengan laa ilaaha illa Allah. Tentu, maknanya bukan sekadar diucapkan, melainkan dengan penghayatan di dalam qalbu dan diwujudkan dengan sepenuh hati menjadi perbuatan nyata. Kita terus berlatih mewujudkan kesadaran bahwa setiap insan berasal dari Allah, akan dikembalikan lagi kepadaNya, segala daya serta kekuatan hanya berkat perolongan Dia. Itulah yang dimaksud dengan belajar bertawakal kepada Allah Al-Ahad, meneladani Nabi saw.

Berkat kejujurannya, Asy-Syakur ridha mengangkat derajat Rasulullah saw menjadi insan yang bersifat fathonah. Bahkan beliau berkembang menjadi “gudang ilmu”, yang kebenaran penjelasannya baru dapat dibuktikan oleh banyak ilmuwan dan peneliti berabad-abad kemudian. Padahal semula Nabi saw hanyalah seorang yang ummiy (tidak bisa menulis dan membaca).

Setelah menjadi fathonah, Rasulullah saw diberkahi pula sifat amanah. Beliau sangat dipercaya oleh Al-Khaliq, para malaikat, nabi dan rasul sebelumnya, juga oleh umat manusia. Kalau para rasul terdahulu dikhianati oleh orang-orang dekatnya, sahabat-sahabat Nabi saw sangat setia kepada beliau. Para sahabatnya diakui sebagai generasi terbaik kaum muslimin bahkan umat manusia.

Semua cara untuk mencapai kemuliaan itu oleh Rasulullah saw disampaikan (tabligh) secara gratis kepada siapa saja yang berminat mempelajarinya. Beliau tidak memungut imbalan sedikit pun. Sabdanya, seluruh ilmu itu diamalkan, agar kelak di hari kiamat tidak menjadi api yang dikalungkan pada lehernya. Kehidupannya sangat bersahaja, merakyat, tiada kesan sebagai penguasa. Kepada umatnya Nabi saw menetapkan pengeluaran zakat 2,5 persen dari kekayaan yang sudah mencapai hitungannya (nishab). Beliau sendiri mungkin hanya menikmati yang 2,5 persen dari kekayaannya, untuk menutupi keperluan pribadi dan keluarganya. Selebihnya dijadikan amal shalih untuk menolong diinullah.

Menurut suatu riwayat, Rasulullah saw pernah mendapat tawaran dari Allah untuk mengubah bukit-bukit di sekitar Mekah menjadi emas. Tapi dengan rendah hati beliau menjawab, lebih menyukai sehari lapar sehari kenyang supaya bisa istiqamah bersabar dan bersyukur.

Pesannya agar umat Islam jangan melecehkan dunia karena di alam inilah tempat kita beribadah dan beramal shalih, dilaksanakan oleh dirinya lebih dulu. Meskipun dosanya sudah diampuni, pada saat luang shalat malamnya berlama-lama. Istighfarnya antara 70 sampai 100 kali dalam sehari semalam. Setiap saat selalu menyebut-nyebut Allah (berdzikir).

Ujian dan cobaannya jauh melebihi dari yang berlaku kepada manusia biasa. Walau dicaci maki sampai difitnah sebagai orang gila, beliau senantiasa tabah. Untuk membela diri, dalam keadaan shaum Ramadhan pun beliau terjun langsung ke medan perang dipanggang terik matahari bukit-bukit berbatu Saudi Arabia tempo doeloe. Tubuh beliau sampai berdarah-darah, karena enggan meraih kemudahan tanpa perjuangan seperti hanya dengan berdoa saja atau mengandalkan ilmu-ilmu kanuragan. Nabi saw senantiasa ikhlas karena Allah mengutamakan kepentingan bersama lebih dahulu. Mengenai perolehan berbagai imbalannya, beliau meyakini Asy-Syakur pasti ridha mengaruniakannya sehingga  merasa tenang. Bukan di balik kalau merasa nyaman baru mau bergiat demi kepentingan bersama, apalagi memperalat untuk tujuan pribadi.

Semua itu merupakan bagian dari contoh pembelajaran Manajemen Ilahiah dalam mengelola kehidupan pribadi (individu) dan kebersamaan (sosial) yang diridhai Allah. Kejujuran mengaku beriman kepada Allah dibuktikan dengan perasaan (hati/qalbu), ucapan dan perbuatan. Pelaksanaannya mengikuti ajaran Islam sebagai syariat (aturan/hukum) dari Dia dan RasulNya. Tujuannya menjadi ihsan (muhsin, baik, berahlaq mulia) dengan keyakinan selalu dalam pantauan Al-Haqq.

Kepada insan yang jujur sebagai seorang mukmin, muslim dan muhsinlah Allah menghadirkan kehidupan yang baik (hasanah) di dunia dan akhirat. Kehidupan, hidup, adalah gerak nyata. Seluruh mahluk bergerak berdasarkan ukuran sifat dan tabiat masing-masing yang telah ditetapkan oleh Al-Khaliq. Bahkan batu yang tampak diam sehingga dikategorikan sebagai benda mati, sesungguhnya tersusun dari kesatuan inti atom yang selalu dikelilingi pergerakan elektronnya. Pergerakan segenap aspek kemanusiaan tentu lebih canggih daripada itu. Kemuliaan sifat dan tabiat setiap insan hanya dapat terjamin manakala menyerap yang halal dan baik (halalan toyyiban) dari konsumsinya, perilakunya, pekerjaannya, dan sebagainya. Bahkan upaya apa saja yang tidak ikhlas diniatkan karena Allah, atau cara melaksanakannya bertentangan dengan ketentuan Dia dan RasulNya, cepat atau lambat akan menodai fitrah pelakunya sehingga berpotensi hidup bergejolak.

Perubahan sifat dan tabiat bani Adam as cuma akan menjadi lebih baik apabila mengikuti ukuran dan aturan dari Penciptanya. Allah membocorkan rahasiaNya, bahwa Dia memberi sifat baik pada pertumbuhan manusia hanya jika orang itu jujur atas nilai-nilai luhurnya, antara lain seperti sabar dan syukur.


Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar [QS 41 (Fushshilat): 35].

  

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya adzabKu sangat pedih" [QS 14 (Ibrahim): 7].

Rasulullah saw pun mengisyaratkan, separuh iman terletak dalam sabar, setengahnya lagi pada syukur. Jelas, yang dimaksud adalah iman yang dibuktikan dengan qalbu, ucapan dan perbuatan; dilaksanakan berdasarkan aturan Islam; agar mencapai derajat ihsan.

Insan yang gigih untuk berprestasi setinggi-tingginya sebagai pengamalan iman, Islam dan ihsannya akan menikmati keberkahan hidup semakin baik sehingga kian merasa tenang. Tidak lagi bergejolak oleh rasa takut kekurangan atau was-was kehilangan segala sesuatu. Tentu, semua itu baru dapat tercapai setelah lulus dari ujian dan cobaannya. Sebab dunia ini tempat ujian dan cobaan supaya semakin berkemampuan, juga untuk menghindari kesalahan agar tidak terkena musibah [QS 29 (Al’Ankabuut): 2-3; QS 76 (Al-Insaan): 2-3; QS 42 (Asy-Syuura): 30].

Setelah lulus dari tahapan-tahapan ujian dan cobaannya, perjalanan hidup setiap ihsan bertambah indah berhiaskan kesyukuran kepada Asy-Syakur. Karena, dengan penuh kejujuran ia menyadari bahwa modal awalnya selaku mahluk adalah nol besar. Semua yang ada padanya dimaknai merupakan karunia Allah, sebagai kenikmatan yang mustahil dapat dihitung, tetapi juga menjadi amanah yang wajib dipertanggung jawabkan.

Seluruh perasaan, ucapan dan perbuatannya dikendalikan sangat hati-hati supaya tidak salah lalu terkena musibah. Kalau mengalami kesulitan diterimanya dengan bersabar sebagai ujian dan cobaan untuk peningkatan derajatnya. Dengan demikian ia menjadi ikhlas bersyukur, karena percaya di balik kesulitan itu pasti banyak hikmah keberutungannya. Lebih dari itu, dia menjadi semakin tulus bersabar dan bersyukur lantaran meyakini bahwa rahmat Allah yang diturunkan ke dunia ini baru satu bagian. Sisanya, 99 bagian lagi, akan dinikmati di akhirat yang abadi. Semoga Allah memperjalankan kita semua menuju ke sana.

Alhamdulillah, berkat perjuangan Nabi saw dan generasi terdahulu yang diridhai Allah, sekarang kita sungguh beruntung. Kalau mau jujur, mereka yang sangat mencintai dunia pun turut menikmati kemujuran itu. Bukankah sejarah mengungkapkan, dinamika kehidupan manusia sudah zumud (beku) sebelum Islam diturunkan? Pembelajaran dari para Nabi terdahulu telah terlalu jauh diselewengkan. Surat pengampunan dosa diperjual belikan. Para cendekiawan dan peneliti dibinasakan, sehingga tidak ada ilmu dan teknologi baru yang layak diandalkan untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.

Tanpa ilmu dan teknologi pertanian, misalnya, mungkin tak terhitung jumlah manusia yang kelaparan. Padahal kebutuhan itu bukan hanya makan dan minum. Pada zaman dahulu, negara besar seperti Yunani dan Romawi melakukan penjajahan terhadap negeri-negeri lemah, agar kekayaannya dapat diambil untuk memenuhi kebutuhan bermewah-mewah para penjajahnya.  

Akan tetapi, seperkasa-perkasanya Yunani dan Romawi, pencerahan produk para cendekiawannya cenderung cuma filosofis. Sangat sulit dioperasionalkan dalam kehidupan nyata. Perancang dan penganjur “negara kota”, justru amburadul ketika dirinya sendiri mendapat kesempatan memimpin pelaksanaannya sebagai proyek percontohan pada sepetak wilayah dengan jumlah penduduk tidak terlalu banyak. Cita-cita mencapai masyarakat adil makmur hanya menjadi mitos sepanjang sejarah umat manusia.

Berbeda dengan keberkahan setelah Islam diturunkan. Hanya dalam waktu 20 tahun Rasulullah saw berhasil memimpin revolusi damai mengubah masyarakat Jahiliyah. Nabi saw dan para sahabatnya hidup jujur, rendah hati, sederhana, merakyat dan bersih dari kesan sebagai penguasa. Mereka menjadi teladan masyarakat dalam kebersamaan, sehingga sukses membangun negeri menjadi adil makmur berlimpah ampunan Ilahi – baldatun toyyibatun warobbun ghafuur. 

Pada generasi berikutnya dapat dilahirkan ilmu-ilmu baru, seperti ilmu matematika, ilmu fisika dan banyak lagi. Ilmu-ilmu itu kemudian dikembangkan menjadi sain dan teknologi sampai semaju sekarang. Tanpa temuan ilmu-ilmu itu dahulu, mungkin kini kita masih berkendaraan hanya dengan kereta kuda atau perahu layar.

Lebih dari itu, bila tanpa tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak mustahil kehibupan di alam ini tetap primitif. Orientasinya hanya duniawi. Yang kuat menindas yang lemah. Orang pintar memperalat yang bodoh. Kaum kaya merampas hak golongan dhuafa. Kekacauan, perampokan, pemerkosaan dan semua sifat kebinatangan bisa merajalela di mana-mana. Berkat ajaran Islam yang dapat dilaksanakan sebagai jalan hiduplah kebaikan bagi semua pihak mampu ditata.

Para cendekiawan muslim menyimpulkan, kehidupan profesional di negara-negara maju sekarang ini adalah berkat mengandopsi ajaran Islam. Mereka menjalani kehidupan Islami, tapi hanya berorientasi duniawinya saja. Karena cuma meyakini kehidupan di alam sekarang belaka, mereka tidak takut pada hukum Allah yang akan menyiksa para pelaku kekafiran di akhirat.

Yang dipatuhi oleh para pecinta dunia hanya hukum buatan manusia, itu pun karena terpaksa. Kalau luput dari pengawasan petugas dianggap tidak melanggar hukum. Bahkan pembuat dan penegak hukumnya oleh kalangan tertentu bisa diajak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sekiranya tidak bisa KKN di negerinya, mereka melakukannya di negara lain. Hak untuk menikmati keadilan dan kemakmuran rakyat miskin di seluruh dunia terus menerus dirampas.


Bayar Utang
Budaya Jahiliyah tampaknya telah menyelimuti kembali kehidupan umat manusia.  Kaum muslimin juga agaknya kian banyak yang mengikutinya. Indikasinya antara lain ialah semakin mengutamakan kebahagiaan (sa adah) pada kehidupan singkat di alam sekarang, bukan kebaikan (hasanah) di dunia dan akhirat yang abadi. Padahal perintah Allah untuk mewujudkan kebaikan itu sangat jelas, bahkan dianjurkan supaya permohonannya dipanjatkan dalam doa. Oleh banyak ulama, permohan ini dianggap sebagai doa terbaik. 




"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan (hasanah) di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” [QS 2 (Al-Baqarah): 201].

Sang Maha Benar mustahil salah dalam memotivasi hambaNya menggunakan kata hasanah dan bukan sa adah. Al-Haqq memanfaatkan bahasa Arab untuk menyampaikan firmanNya yang terhimpun dalam Al-Qur’an. Bahasa Arab yang digunakan adalah yang berlaku pada budaya masyarakat Arab ketika Kitab Suci itu diturunkan.

Budaya masyarakat Arab ketika Al-Qur’an diturunkan, antara lain mengungkapkan bahwa ­ad-dunya terambil dari kata ad-dana. Maknanya ialah nilai yang berlaku di alam lingkungan tingkat rendah. Diadopsi oleh bahasa Indonesia menjadi kata “dunia”.

Dunia disebut juga alam nyata (syahadah) menurut pancaindra manusia. Padahal isinya tidak selalu nyata. Sesuai dengan Sunnatullah bahwa semua ciptaannya adalah berpasangan [QS 36 (Yaasiin): 36], sesuatu yang nyata itu tentu mempunyai mitra yang maya (ghaib). Yang ghaib terbagi dua: Ghaib Multak dan Ghaib Mudhafi. Di antara yang nyata dan maya pun terdapat sesuatu yang bersifat khusus. Dalam bahasa Arab, sesuatu yang kedudukannya pada antara seperti itu ada yang dikelompokkan sebagai barzah.

Contoh yang nyata ialah manusia, flora dan fauna, bumi, bulan, bintang, matahari dan banyak lagi. Yang Ghaib Mutlak ialah Allah Al-Ahad. Yang Ghaib mudhafi adalah yang tidak kasat mata karena sesuatu sebab. Misalnya, seseorang yang tidak hadir pada suatu tempat bisa dikategorikan ghaib di tempat tersebut. Menyolatkan jenazah di tempat lain dari mayat itu berada, disebut shalat jenazah ghaib. Bila definisinya demikian, mestinya suatu ilmu yang tidak dikuasai seseorang bisa dianggap ghaib menurut orang itu. Karenanya, ukuran yang ghaib mudhafi cenderung relatif. Bahkan udara yang setiap saat dihirup manusia, ada yang menganggapnya nyata karena bisa dirasakan, tapi ada pula yang menilainya maya lantaran tidak terlihat. Identik dengan kenyataan ini, maka makna atau pengertian suatu kata bisa sama atau berbeda. Bergantung kesepakatan pihak terkait di tempat itu.

Kesepakatan untuk menamakan sesuatu itu cenderung merujuk pada sesuatu yang sudah dikenali lebih dulu. Mahluk hidup berkaki dua, mempunyai perasaan mendalam dan mampu berpikir cerdas, misalnya, disebut manusia. Ciri-ciri dan tabiatnya menjadi penunjuk atau lambang (simbol) mengenai sesuatu yang dimaksud itu. Repotnya, ciri-ciri dan tabiat yang dikenali secara umum pun cenderung hanya mengenai bagian luar yang tampak nyata saja. Karena itu, kata atau bahasa cuma berkemampuan mengungkapkan sebagian kecil pula dari yang dimaksudkan oleh penyampainya. Supaya ada patokan, yang tergolong nyata dibuat ukuran khusus, yang kurang jelas dibuat perumpamaan.

Contoh ukuran yang nyata dibatasi oleh kesepakatan ruang dan waktu bumi pada lokasi tertentu. Bumi adalah bagian dari dunia. Karena itu derjatnya dianggap rendah.Yang dinilai tinggi ialah langit (as-sama i). Kehidupan mahluk bumi dibantu oleh sinar matahari dan hujan dari langit. Agama Allah sebagai petunjuk untuk mengarahkan kemuliaan manusia, dinamakan Agama Samawi (agama langit). Hanya berdasarkan diinullah yang memandu pengetahuan manusia terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah yang tersebar di alam semestalah, bani Adam as dapat mengetahui derajatnya masing-masing.

Secara fisik, kelengkapan tubuh manusia mirip dengan yang dimiliki fauna. Di antaranya sama-sama mempunyai raga, otak dan jantung. Tubuh manusia dan binatang terbentuk dari saripati tanah melalui konsumsi makanan dan minuman orang tuanya. Setelah terjadi pembuahan sperma pada ovum terbentuklah janin.  Menurut petunjuk Allah dalam Al-Qur’an, khusus bagi manusia, sesudah janinnya mengalami pertumbuhan sempurna mendapat tiupan ruh milik ­Al-Khaliq [QS 38 (Shaad): 71-72].

Raga manusia disiapkan sebagai mahluk bumi. Pasangan raga setiap insan ialah jiwanya masing-masing. Jiwanyalah yang oleh ­Al-Khaliq diminta bersaksi untuk beriman kepada Allah Al-Ahad [QS 7 (Al-A’raaf): 172]. Sampai saat dilahirkan kondisi jiwanya dikategorikan masih suci, karena belum berbuat kesalahan.

Bila tanpa tiupan ruh milik Al-Khaliq, manusia menjadi seperti fauna. Faktor nafsu akan mendominasi kehidupannya. Nafsu adalah bagian terendah dari jiwa manusia. Menurut suatu hadits qudsi, tabiatnya sangat bengal. Kepada Al-Khaliq pun ia berani kurang ajar. Dihukum 100 tahun di neraka juga tidak membuatnya jera. Sesudah dijebloskan ke dalam penjara lapar dan haus 100 tahun lagi, kekurang ajarannya mulai mereda. Karena pembangkang, sebelum mendapat rahmat Allah dia disebut Nafsu Amarah yang condong mendorong pada kejahatan [an-nafs al-amaratum bissu –  QS 12 (Yusuf): 53].

Fungsi dasar nafsu ialah untuk menunjang kehidupan melalui makanan dan minuman, juga agar dapat melestarikan keturunan via hubungan intim. Akan tetapi, lantaran sifat dan tabiatnya yang pembangkang ia mudah diperalat iblis yang terkutuk untuk melakukan pengingkaran terhadap semua yang diridhai Al-Ahad. Seluruh keburukan dapat dilakukan oleh nafsu yang diperdaya setan. Motivasi iblis ialah untuk menjerumuskan bani Adam as sebanyak-banyaknya, karena dendam kepada manusia yang dikambing hitamkannya sebagai penyebab ia dikutuk oleh Al-Khaliq. Nasibnya sudah dipastikan, di akhirat dia akan disiksa selamanya di neraka.  

Saban melakukan pengingkaran terhadap kebaikan yang diridhai Al-Haqq, atau malah melanggar laranganNya, qalbu setiap insan menjadi ternoda. Qalbu adalah pasangan batiniah jantung manusia. Noda akibat perbuatan buruk manusia yang didominasi oleh nafsunya, dapat menutupi potensi kecanggihan dan kemuliaan qalbunya. Itulah yang disebut kafir atau kufur, yang arti harfiahnya adalah selimut atau penutup.

Fungsi utama qalbu ialah untuk menentukan baik atau buruk. Segenap kecanggihan dan kemuliaan potensi yang disemai oleh Al-Khaliq melalui ruh milik Dia yang ditiupkan kepada setiap insan, kiranya tersimpan di dalam qalbu manusia masing-masing. Rasulullah saw menunjukkan, bahwa potensi akal terletak di kepala dan dada (shudur). Ketika menyebut shudur, Nabi saw mengisyaratkannya dengan meletakkan tangan pada dada.

Adapun potensi akal di kepala, sebagaimana sudah menjadi pengetahun umum, sarananya ialah otak. Seluruh akitivitas fisik manusia dikendalikan oleh otaknya. Pemberdayaan fungsi akal dengan sarana otak saja tentu tidak optimal. Yang optimal adalah bila olah otak (pikiran) dan akal qalbu bersinergi, sesuai dengan rancangan Al-Khaliq. Tugas pokok pikiran tampaknya lebih dominan pada yang bersifat ad-dana, alam rendah duniawi yang bersifat fisik. Karena itu, fungsi akal untuk menentukan benar atau salah jika hanya mengandalkan kemampuan sarana otak saja kecenderungannya cuma pada yang bersifat duniawi pula.

Ukuran benar atau salah duniawi jelas hanya berpatokan pada selera manusia. Akibatnya, kebenaran pun bisa cuma berdasarkan tuntutan nafsu yang diperdaya setan belaka. Karena itu, pemberdayaan akal dapat menghalalkan segala cara yang menurut seleranya efektif dan efisien untuk mencapai kepuasan yang terbukti tanpa batas itu. Orang yang pintar akan akal-akalan. Yang bodoh cenderung bersedih. Lebih lanjut, akibat yang ditimbulkannya baik pada diri pribadi maupun masyarakat adalah selalu bergejolak. Ketenangan menjadi sesuatu yang sulit digapai. Tidak terbeli oleh materi maupun dengan darah dan air mata. Kecenderungan tuntutan bahagia (sa adah) relatif pada sekitar itu.

Potensi kecanggihan akal untuk hal-hal yang bersifat mulia kiranya tersimpan dalam akal qalbu. Indikasinya antara lain, tidak semua orang terdidik dapat menerima hidayah iman. Pemuka-pemuka masyarakat Arab zaman Jahiliyah yang menolak ajaran Islam, jelas bukan orang-orang bodoh atau miskin. Padahal awalnya semasa masih di dalam kandungan ibunda masing-masing, setiap manusia sudah dibekali iman oleh Al-Khaliq.

Kecanggihan potensi-potensi luhur yang disemaikan ke dalam ruh itu sesungguhnya teramat dahsyat. Setiap saat, bila mendapat kesempatan saban insan akan tertarik pada kebaikan. Kekuatan imannya selalu merindukan Al-Haqq, kecuali bila hatinya telah demikian kotor hingga mengeras lalu membantu yang diibaratkan telah terkunci mati.

Kesadaran mau beriman atau kafir bagi seseorang setelah dewasa, oleh Al-Haqq dipercayakan sepenuhnya kepada individu yang bersangkutan. Apa saja yang dilakukan manusia adalah untuk dirinya sendiri. Sang Maha Raja di raja tidak memerlukan sesuatu pun dari mahlukNya.

Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek [QS 18 (Kahfi): 29].

 

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hambaNya [QS 41 (Fushshilat): 46].
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu [QS 2 (Al-Ikhlash): 2].

Al-Khaliq Maha Adil. Semua insan diberi potensi dan kesempatan untuk mencapai derajat setinggi-tingginya di dunia dan akhirat. Potensi canggih dan mulia sudah disemai ke dalam ruh milik Dia yang ditiupkan kepada setiap manusia.

Untuk memberdayakannya sudah diberikan fasilitas yang melekat pada dirinya maupun yang tersebar di alam semesta. Pedoman untuk mencapainya telah disediakan Al-Qur’an yang sudah dibuktikan kebenaran dan kecanggihannya oleh Rasulullah saw beserta generasi terbaik dahulu. Modal awal manusia adalah nol besar, tinggal membuktikan kesungguhan dan keikhlasan menjalani agamaNya. Kebaikan (hasanah) ke arah itulah yang diridhai oleh Asy-Syakur. 

Buktinya, Asy-Syakur telah meridhai Nabi saw dan generasi terbaik terdahulu, sehingga mereka dapat menjadi penyebab (ilat) kebaikan bagi kita kini. Semoga kita juga dimampukan berbuat baik kepada generasi sekarang dan yang akan datang sebagai bayar utang.0

Forum Komunikasi Tawakal
fktawakal.wordpress.com
fktawakal.blogspot.com





Bertawakal dari Awal

H. A.H. Asdie, H. Entjep Hadjar, H. Jusuf Misbach,
H. Memet R Kusrin, H. Fachruddin, H. Edward Pribadi

http://fktawakal.wordpress.com

Betapa beruntung kita, bila bisa melaksanakan perintah Al-Khaliq untuk kian memurnikan ketaatan kepadaNya. Ibadah adalah satu-satunya tugas manusia di dunia. Jika menjalaniya dengan saling menyemangati supaya semakin ikhlas, insya Allah para pelakunya akan sama-sama mendapat nilai keutamaan.


Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)-mu dalam setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepadaNya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan, (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya". [QS 7 (Al-A’raaf): 29].

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. [QS 51 (Adz-Dzaariyaat): 56].

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [QS 98 (Al-Bayyinah): 5].


Tegaslah sudah, bahwa ibadah harus ikhlas hanya karena Allah Al-Ahad (Yang Maha Esa). Kemurnian niat itu merupakan syarat mutlak dalam beribadah. Baik pada ibadah sebagai ungkapan rasa syukur dan bukti penghambaan belaka kepadaNya maupun untuk mengharapkan kemaslahatan bagi diri pribadi dan orang lain yang bernilai amal shalih (perbuatan mulia). Dengan demikian nilainya tidak termanipulasi oleh hawa nafsu dan syahwat yang rentan diperalat setan. Misalnya, untuk tebar pesona, ujub, riya dan takabur.


Demi kasih sayangNya, Sang Maha Pengatur sesungguhnya telah memberi petunjuk khusus agar semua hamba ikhlas beribadah kepadaNya. Petunjuk itu sekaligus berfungsi sebagai pencegah dan penangkal supaya nilai pengabdian kita aman dari kesia-siaan. Tetapi, untuk menyempurnakan ibadah itu bagi insan yang sudah dewasa (akil baligh) mesti atas kemauan pribadi masing-masing. Untuk anak-anak masih menjadi tanggung jawab walinya. Inti petunjuk Allah Swt agar kita ikhlas beribadah ialah menjunjung tinggi Trilogi Tawakal kepadaNya.


Antara Hamba dan Khalifah

Ada qalam Ilahi yang mengingatkan kita agar senantiasa waspada, bahwa jerih payah yang dikira sebagai perbuatan terbaik pun ternyata bisa sia-sia. Salah satu indikasinya dalam kehidupan nyata ialah makin menipisnya rasa keberkahan sebagai manusia seutuhnya. Sedikit saja mengalami ketidak-puasan menjadi melankolis. Jika sukses lantas lupa diri, tapi cuma sesaat dapat merasakan nikmatnya, sehingga kian terhanyut oleh beragam kesibukan untuk mencari kepuasan. Kecendurungannya semakin mengutamakan orientasi duniawi, mengesampingkan pertumbuhan keluhuran jiwa.


Siapa pun yang kurang ajar berani memutar balik ketentuan Allah Swt bahwa yang utama adalah kehidupan akhirat tanpa melupakan keperluan di dunia, pasti terkena akibatnya. Di antararanya ialah akan merasakan kecenderungan keadaan seperti serba bertentangan dalam segala hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.


Kenyataan menunjukkan, yang paling dekat dengan setiap orang sesungguhnya ialah Al-Khaliq, setelah berumah tangga tentu saja pasangannya, sahabat, mitra kerja dan seterusnya. Realitas itu hanya dapat dirasakan kebenarannya bila kita berusaha sungguh-sungguh secara berkesinambungan (istiqamah) sampai ikhlas menjadi hamba Allah Swt, sebagai bukti pengabdian (ibadah) kepadaNya. Tetapi, fakta itu bisa terasa lain manakala orientasi hidup kita berubah dari yang seharusnya untuk ibadah sebagai hamba Allah, menjadi pecinta dunia (hubbud dunya). Semua kenyataan dan yang seharusnya itu tanpa sadar tergantikan oleh segenap kebutuhan yang bersifat duniawi atas dorongan hawa nafsu yang diperdaya setan.


Para pecinta dunia umumnya menggunakan pembenaran polahnya berdasarkan penggalan awal QS 28 (Al-Qashash): 77 untuk meneguhkan keyakinannya, tapi mengesampingkan bagian akhir ayat tersebut. Lebih dari itu, mereka menghindar dari perintah kaffah (menyeluruh, komprehensif) dalam mengambil dalil. Terkesan enggan mengikuti banyak Ayat dan Hadits yang menunjukkan bahwa akhirat lebih baik daripada dunia, tapi bukan berarti harus membenci atau menjauhinya. Sebab, alam nyata ini merupakan tempat beribadah kepada Al-Ahad dan berbuat baik untuk diri sendiri serta orang banyak (amal shalih) menurut ketentuan Dia dan RasulNya, yang nilai atau hakikatnya menjadi bekal bagi kehidupan di akhirat.


Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. [QS 28 (Al-Qashash): 77].
Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. [QS 17 (Al-Israa’): 21].
Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. [QS 87 (Al-A’laa): 17].

Nabi saw bersabda: “Umat Islam nanti akan seperti santapan di atas meja yang diperebutkan oleh banyak pihak.” Para sahabat bertanya: “Apakah karena saat itu jumlah kami sedikit, ya Rasulullah?” Jawab beliau: “Tidak. Bahkan jumlah kalian banyak, tetapi ibarat buih di lautan dan Allah mencabut rasa takut dari dada musuh-musuhmu terhadap kamu, juga Allah menancapkan penyakit wahn ke dalam hatimu.” Bertanya lagi para sahabat: “Apakah penyakit wahn itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu penyakit cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud)
Ketika seseorang terpincut menjadi pecinta dunia, beribadah dan beramal shalih pun cuma dengan perasaan iman yang tipis. Tujuannya boleh jadi hanya untuk membujuk Al-Khaliq agar mengabulkan doanya yang dominan bermuatan duniawi. Atau cuma karena takut siksaanNya belaka, bahkan bisa supaya dipuji oleh manusia (riya). Motivasi itulah, antara lain, yang menjadi tabir batiniah penghalang khusyu dan istiqamahnya ibadah, karena yang dicari adalah kesenangan duniawi.


Dari awal, mereka menuntut rasa nyaman untuk beribadah dan beramal shalih. Padahal, kesenangan itu seharusnya diperoleh sebagai keberkahan setelah melaksanakan ibadah dan amal shalih dengan ikhlas serta istiqamah. Bila sejak permulaan merasa tidak nyaman, mereka menjadi enggan beribadah dan beramal shalih bagi peningkatan kemaslahatan bersama. Apabila disemangati dengan berbagai motivasi sampai mau bareng-bareng melaksanakan pun, cuma selama sesuai dengan seleranya saja. Ketika diingatkan agar mengikuti ketentuan yang berlaku, malah bisa tersinggung dan kembali menjadi enggan lagi.


Dalam suasana pertentangan seperti itu, keberadaan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang pun tak dapat dirasakan kehadiranNya. Padahal Dia menegaskan lebih dekat kepada setiap orang daripada urat lehernya masing-masing [QS 50 (Qaaf): 16], bahkan mendinding, melapisi, membatasi manusia dengan hatinya pada semua insan [QS 8 (Al-Anfaal): 24]. Kalau perasaan terhadap Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang saja demikian, maka dapat dimaklumi bila semakin jauh dengan pasangan rumah tangga, sahabat, mitra kerja dan seterusnya.


Pelariannya ada yang menenggelamkan diri pada beragam kesibukan dengan konsekuensi makin menipis bahkan hilangnya kepercayaan. Bagaimanapun setiap orang mempunyai keterbatasan. Ketika kapasitasnya tidak memadai untuk memenuhi banyak tugas yang terlanjur sudah disanggupinya, akan berpengaruh pada pribadinya dan semua pihak terkait.


Ada pula yang menjauhkan diri dari tanggung jawab kebersamaan sebagai umat manusia. Fokus perhatiannya dalam hidup ini hanya dirinya sendiri dan orang-orang yang dapat menyenangkannya saja.


Di antara tipe pertama maupun yang kedua, semula ada yang mengutip pribahasa lama “Anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Waktu masih giat dalam kebersamaan untuk beribadah dan beramal shalih, mereka menganggap dirinya sebagai anggota kafilah. Para komentator apalagi yang enggan berbuat untuk kebersamaan dituding sebagai ... . Mereka sangat menyayangkan orang yang keluar dari kafilah atau jamaah. Alasannya, karena semakin berpeluang menjadi sombong lantaran merasa lebih baik dari pihak lain, dapat tergelincir jadi penggunjing dan pencela, dengan akibat kian enggan berbuat baik secara nyata untuk orang banyak sebagai pelaksanaan perintah Allah Sang Pemberi Nikmat tak terhingga.


Dalam suasana jiwa pertentangan, cuma sesaat-sesaat saja dapat menikmati ketenangan, yaitu ketika beroleh kepuasan baru sesuai yang diinginkan semata. Selanjutnya selalu menuntut kepuasan aktual tanpa batas, sehingga sangat sulit untuk mampu menikmati kepuasan sejati apalagi kebahagiaan hakiki berkesinambungan yang bersumber dari hak prerogatif anugerah Sang Maha Pemberi Keberkahan.

Sebagai hamba maupun khalifah Allah di bumi [QS 2 (Al-Baqarah): 30], orientasi semua insan seharusnya untuk beribadah kepadaNya. Ibadah berasal dari kata abid, artinya hamba atau abdi, menjadi penghambaan atau pengabdian kepada Al-Khaliq. Untuk melaksanakannya ada yang sudah baku aturannya (mahdhah) dan tidak baku ketentuannya (ghairu mahdhah).

Urusan duniawi pun bisa menjadi bernilai ibadah bila diniatkan karena Allah Swt dan dilaksanakan menurut aturan yang berlaku atau tidak melanggarnya, yaitu ketentuan yang bersumber dari Dia, RasulNya, penguasa (ulil amri), norma susila dan profesionalisme. Semua itu merupakan pengejawantahan rahmatNya sebagai pengarah pada kebaikan (hasanah). Bukankah Allah Swt dan RasulNya menunjukkan, kita hanya berbahagia berkat rahmat Dia yang diwujudkan menjadi kebaikan? Walaupun demikian kita juga diajarkan untuk rendah diri kepadaNya dengan senantiasa berdoa: “Ya Allah ya Tuhan kami, anugerahkanlah kebaikan kepada kami di dunia dan akhirat.”


Apabila sukses menjadi hamba Allah, setiap orang pantas menjadi khalifahNya. Kelayakan merasa jadi khalifahNya dipercayakan kepada individu insan masing-masing. Tentu saja ada kriterianya, yaitu berdasarkan totalitas (kaffah), kualitas dan istiqamah penghambaan sebaik-baiknya kepada Al-Khaliq, dengan pengejawantahan pemberdayaan semua yang diamanahkan kepadanya untuk dan atas nama Allah Swt.


Konon, karena sangat hati-hati (wara’) mengenai makna khalifah Allah, generasi muslim terbaik angkatan pertama jarang membicarakannya. Mereka pantang mengaku dirinya yang paling pantas menyandang kehormatan itu. Pasalnya, Al-Khaliq memang sudah mencanangkan setiap orang adalah khalifah Dia atau wakilNya di dunia. Masalahnya, setan yang bertabiat hasad (iri, dengki) pun telah bersumpah sampai kiamat akan terus menghasut manusia agar lalai kepada Al-Ahad. Provokasi mahluk terkutuk itu kepada setiap insan di antaranya ialah agar dirinya merasa lebih baik dari orang lain, sampai banyak pihak berebut pengakuan bahwa ia yang paling layak menjadi khalifah, yang hakikatnya menuntut masyarakat supaya menuruti keinginannya.


Merasa lebih baik dari orang lain sebagai kesombongan, sangat dimurkai Allah Swt. Jelas, manusia yang sombong adalah orang yang sedang terselimuti (kafir, kufur) oleh pengaruh hawa nafsunya yang diperalat setan. Pelanggaran berat terhadap perintah dan larangan Sang Maha Pengatur itu, bagi insan yang melakukannya sama dengan teramat lalai kepada Dia. Padahal ketentuanNya sangat tegas. Al-Ahad akan melupakan orang yang lalai kepadaNya [QS 59 (Al-Hasyr): 19]. Caranya: insan itu dijadikan tidak mampu menerima rahmat sebagai satu-satunya pengarah pada kebaikan, karena terselimuti oleh keburukan sifat dan tabiat lantaran keingkarannya. Akibatnya, ia selalu merasa benar berdasarkan pendapatnya sendiri, bukan berkat kesungguhan dan istiqamah memahami, menghayati serta mengamalkan petunjuk Allah Swt dan RasulNya. RahmatNya yang Maha Suci sebagai pengarah pada kebaikan, mustahil dapat menyatu dengan keburukan dampak keingkaran seseorang, kecuali atas pertolongan khusus dari Dia.


Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. [QS 18 (Al-Kahfi): 103-105].
Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dia-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar." [QS 49 (Al-Hujuraat): 17].

Hai anak Adam, luangkan waktu untuk beribadah kepadaKu, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku menghindarkanmu dari kemelaratan. Kalau tidak, Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan kerja dan Aku tidak menghindarkanmu dari kemelaratan. (HQR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Barangsiapa takut kepada Allah, maka Dia akan menjadikan segala sesuatu takut kepadanya. Barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah menjadikannya takut kepada segala sesuatu. (HR Baihaqi).

Manusia yang tidak takut kepada Allah Swt akibatnya bisa separah Fir’aun, sampai menuhankan dirinya sendiri dan minta disembah orang banyak. Contoh lain ialah Hitler, yang mengaku rasnya paling unggul. Diktator itu merasa berhak berlaku semaunya kepada bangsa-bangsa bukan kroninya, tetapi ia juga sukses mengajak banyak pihak untuk berbuat serupa sampai mengobarkan Perang Dunia. Kualatnya, walaupun selalu berusaha supaya tampak perkasa, setelah mengalami kekalahan telak dia putus asa lalu bunuh diri. Memang banyak bukti, rasa percaya diri saja tidaklah dapat menjamin stabilnya ketegaran manusia. Sebab, setiap orang suatu waktu pasti labil. Karena itu, seharusnyalah kita selalu bergantung kepada Dzat Yang Maha Stabil. Allah As-Shamad.


Keengganan bergantung kepada Allah merupakan permulaan menuhankan hawa nafsu [QS 25 (Al-Furqaan): 43-44, QS 45 (Al-Jaatsiyah): 23-26], yang kemudian menuhankan dirinya sendiri. Semua insan sudah tahu bahwa tidak mungkin ada di dunia tanpa diciptakan oleh Al-Khaliq. Satu jam saja mustahil dapat hidup kalau ruhnya dicabut. Seluruh daya dan kemampuan pun hanya berkat pertolongan Dia. Tetapi, masih juga ada orang sombong yang mengingkari bergantung kepadaNya. Pembangkangan itu sama dengan menolak kehendak Dia menciptakan manunsia untuk beribadah kepadaNya, lantaran terpincut oleh kesenangan duniawi semata.


Agar selamat dari syirik menuhankan hawa nafsu, orang beriman diperintahkan melaksanakan ajaran Islam semakin kaffah, supaya ikhlas menaati semua perintahNya dan menghindarkan seluruh laranganNya. Bila tidak, kita bisa terbajak sedikit demi sedikit oleh hawa nafsu yang diperdaya setan. Jangan lupa, para ulama mengibaratkan hawa nafsu sebagai “musuh yang disayangi” karena dapat memberikan kesenangan sesaat, tapi akibatnya teramat fatal. Bisa membajak diri atau pribadi sebagai manusia seutuhnya, keluarga, dan banyak lagi yang diamanahkan kepada kita. Nikmatnya sesaat, namun dalam waktu lama terasa hampa, tanpa hadirnya rasa diberkahkan. Karena tak kunjung dapat menikmati kebahagiaan hakiki, maka pemuja hawa nafsu cenderung semakin egois, ambisius dan materialistik. Meskipun berpotensi membahayakan, karena hidupnya harus berlangsung terus ia jalani juga dengan resiko sering terkena musibah lantaran kerap melakukan kesalahan.


Allah Swt menegaskan, semua musibah yang menimpa seseorang adalah akibat ulah dirinya sendiri [QS 4 (An-Nisaa’): 30, QS 57 (Al-Hadid): 22]. Bila kita mau introspeksi, insya Allah merupakan pertanda baik. Kesadaran itu hadir sebagai pengejawantahan ruhani, karena oleh Al-Khaliq kita dihidupkan dengan ruh milik Dia. Derajat ruh kita yang lebih tinggi daripada malaikat, setiap saat merindukan kedekatan dengan Sang Maha Pencipta, sehingga bila mendapat kesempatan akan melesat mengorbitkan kesadaran kita kepadaNya. Kita juga sudah dibekali ilham untuk bebas memilih kebaikan atau keburukan menurut ketentuan Allah Swt dan RasulNya [QS 91 (Asy-Syams): 8]. Pilihan itu harus atas kemauan sendiri [QS 18 (Al-Kahfi): 29, QS 13 (Ar-Ra’d): 11].


Ruh milik Allah Swt dan Agama Dia fitrahnya sama, berasal dari Sang Maha Benar (Al-Haq). Karena itu, agar beroleh keridhaanNya, kita wajib menjalani kehidupan ruhani berdasarkan kebenaran petunjuk Dia dan RasulNya. Sebaliknya, kita harus selalu mengendalikan hawa nafsu yang mudah diperdaya setan, lantaran senantiasa menyeret pada keburukan. Kalau pilihan kita pada yang benar itu kuat dan istiqamah, kehidupan kita akan membaik. Apabila kita dekat dengan orang shalih, insya Allah akan tersemangati untuk menguatkan kesadaran dan istiqamah, sampai beroleh taufik dan hidayah menjadi shalih pula.


Sekiranya mau merenung apalagi menafakuri, insya Allah bakal tersadarlah kita bahwa kehadiran setiap orang ke dunia ini mutlak hanya atas kehendak Al-Khaliq. Tidak ada peran insan yang bersangkutan sedikit pun. Faktor orang tua cuma menjadi penyebab. Banyak pasangan suami istri yang tidak Dia izinkan tak mampu menghasilkan keturunan. Kesadaran semacam ini merupakan modal awal bertawakal kepada Allah Al-Ahad.


Trilogi Tawakal kepada Allah

Tawakkal terambil dari kata wakila atau wakala, artinya mewakilkan. Setelah diberi imbuhan ta menjadi tawakkal, dalam bahsa Indonesia jadi “tawakal” bermakna menyerahkan atau berserah diri. Maksudnya ialah menyadari dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan bahwa kita bergantung seutuhnya kepada Al-Khaliq.


Sebagaimana perintah Allah Swt agar orang beriman melaksanakan ajaran Islam secara kaffah [total – QS 2 (Al-Baqarah): 208], maka segenap pengejawantahan kemanusiaan kita yang diniatkan di dalam hati (qalbu), diucapkan dengan mulut, dilakukan melalui perbuatan anggota badan (sebagian atau seluruhnya) haruslah dinisbahkan (dengan merasa bergantung penuh) kepadaNya.


Terkait dengan Iman, Islam dan Ihsan, sikap tawakal semestinyalah berlaku pada ketiganya. Sebab, Iman merupakan dasar Islam. Syarat pertama untuk memeluk Islam wajib mengucapkan dua kalimah Syahadat, maknanya pengakuan beriman bahwa tiada Tuhan selain Allah Al-Ahad, dan Muhammad adalah utusanNya. Orang yang sudah menjadi penganut agama Islam pun diperintahkan agar memasukkan iman ke dalam qalbunya [QS 14 (Al-Hujuraat): 14].


Qalbu atau hati disimbolkan sebagai gambaran sesuatu yang terdalam dari manusia, antara lain menjadi pusat rasa (af idah, fuad). Amalan (hasil kerja) qalbu (fuad) berupa perasaan, menjadi pendorong (motivasi) pemikiran dan perbuatan seseorang, sehingga kinerja akhirnya berpengaruh pada jiwa. Awalnya (fitrah) jiwa setiap insan sudah beriman [QS 7 (Al-A’raaf): 172]. Sampai saat dilahirkan masih dalam keadaan suci [Hadits Riwayat Imam Bukhari]. Faktor lingkungan terhadap akal, rasa dan raganyalah yang kemudian mempengaruhi jiwa bani Adam as sampai akhir hayat masing-masing. Karena itu, penghargaan Al-Khaliq kepada manusia dimulai pada jiwanya yang telah tenang berkat keshalihannya [an-nafs al-muthmainnah – QS 89 (Al-Fajr): 27-30].


Shalih, arif, ihsan, adab dan ahlaq yang terpuji adalah hasil proses Iman dan Islam. Semuanya itu harus menghasilkan amal shalih, yaitu segala perbuatan baik yang bermanfaat untuk diri pibadi dan orang banyak, bukan sebatas basa basi dan sopan santun belaka. Amal shalih setiap insan akan diperhitungkan dengan dosa serta kesalahan masing-masing. Penilaian yang pasti benar mengenai pemahaman, penghayatan dan pengamalan ketiganya – Iman, Islam, Ihsan – hanyalah menjadi hak Sang Maha Benar. Kita hanya melaksanakan sungguh-sungguh dan istiqamah syarat, rukun serta adabnya menurut ketentuan Dia dan RasulNya. Bahkan ukuran keikhlasan ibadah pun kita serahkan kepadaNya, karena cuma Dia Sang Maha Penentunya. Itulah hakikat bertawakal kepada Al-Ahad dalam pemahaman, penghayatan dan pengamalan Iman, Islam, Ihsan. Wallahu’alam.


Karena setiap orang terkena ketetapan Sunnatullah tentang ruang dan waktu, maka perbuatan (amalan) kita mengikuti pola permulaan, proses pelaksanaan, dan akhir pekerjaan. Itu sebabnya, tawakkal ala Allah pun seharusnya diberlakukan pula pada tiga tahapan tersebut.

Di awal, tawakal menjadi amalan hati atau qalbu, satu tahapan dengan proses azam (membulatkan tekad) yang apabila hendak dilaksanakan berlanjut menjadi niat. Sesuatu yang ditekadi dan diniati untuk dikerjakan itu disadari sepenuhnya hanya dapat terjadi berkat pertolongan Allah Swt, sehingga sejak sebelum dikerjakan pun hakikatnya pantas dinisbahkan (dipersembahkan) kepadaNya. Dengan demikian terbuktilah bahwa firmanNya dalam QS 3 (Ali ‘Imran): 159 Maha Benar, karena memerintahkan bertawakal dari mulai azam.

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyintai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.

Selaku Peragawan Agung Al-Qur’an, Rasulullah saw pun memberikan keteladanan bertawakal pada permulaan perbuatan.


Apabila hendak bepergian, Nabi saw berucap: “Dengan nama Allah, aku bertawakal ...” (HR …).


Ibnu Abbas ra menuturkan: “Ketika ayat ini turun, ‘Dan jika kamu mengungkapkan apa yang ada di hatimu atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan denganmu tentang hal itu [QS 2 (Al-Baqarah): 284],’ para sahabat merasa keberatan karena sebelumnya (kandungan) ayat tersebut tidak pernah masuk pada hati mereka. Maka Nabi saw bersabda: ‘Ucapkanlah sami’na wa atho’na wa aslamna – kami dengar, kami patuh dan kami berserah diri. Aku telah melakukannya.” (HR Muslim).
Jelas, penegasan Al-Ayat dan contoh As-Sunnah itu merupakan pengejawantahan rahmat Allah, untuk membantu keikhlasan niat al-insan manakala hendak berbuat baik. Bukankah nilai amal seseorang ditentukan oleh niatnya? Seperti diketahui, niat baik sudah dicatat sebagai perbuatan mulia walaupun belum dilaksanakan. Apabila dikerjakan dalam perbuatan konkret, niat baik itu telah berlaku sebelum pengamalannya berproses sampai tuntas sehingga aman dari kerusakan, dan beroleh nilai tambah atas pelaksanaannya secara nyata.


Akan tetapi, jangan pula karena niat baik itu baru dicetuskan di hati saja sudah diberi pahala lantas menebarnya dengan pengumuman kepada pihak lain. Ada ulama mengingatkan, meskipun hal itu dimaksudkan untuk memotivasi, tetap haruslah hati-hati. Pertama, karena boleh jadi termasuk ujub dan riya. Bukankah ujub tergolong sombong, serta riya adalah syirik samar? Kedua, sebab memotivasi atau mengajak pada kebaikan juga kita pribadi hendaknya sedang atau sudah mengerjakannya. Allah Swt murka kepada orang yang cuma menyuruh pihak lain berbuat baik, sedang dirinya sendiri tidak mengerjakan [QS 61 (Ash-Shaff): 2-3]. Ketiga, mungkin pula penebaran niat baik yang diumumkan itu tergolong nadzar, yang bila tidak dilaksanakan bisa terkena kafarat (kualat). Wallahu’alam.


Lebih dari itu hendaknya kita benar-benar menyadari bahwa agama Islam bukanlah aliran kebatinan. Bertawakal pun tidak cukup hanya di dalam hati, tapi harus dibuktikan pula dalam perbuatan. Pada proses pelaksanaan perbuatan, makna berserah diri menjadi “tunduk dan patuh atau taat – aslama, islaman”. Bukankah salah satu arti harfiah “Islam” sama dengan “berserah diri”? Hakikat tawakal pada pelaksanaan sedang berlangsung sama dengan ketika masih azam, menyadari dengan penuh kerendahan diri bahwa dapat berlanjutnya pekerjaan itu sampai dengan pelaksanaannya hanyalah berkat pertolongan Allah Swt.


(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri – aslama – kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS 2 (Al-Baqarah): 112].
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah – aslim!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh – aslamtu – kepada Tuhan semesta alam". [QS 2 (Al-Baqarah): 131].
“Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri". [QS 14 (Ibrahim): 12].

Barangsiapa memurkakan Allah untuk meraih keridhaan manusia, maka Allah murka kepadanya dan membuat orang yang semula meridhainya menjadi benci kepadanya. Namun barangsiapa meridhakan Allah (meskipun) dalam ketidak-sukaan manusia, maka Allah akan meridhainya dan meridhakan kepadanya orang yang pernah membencinya; sehingga Allah meluhurkannya dengan keindahan ucapan dan perbuatan dalam pandangan Dia. (HR Thabrani).


Setelah diniatkan dan tuntas dilaksanakan, pekerjaan pun berakhir. Semua urusan atau persoalan dikembalikan lagi kepada Allah Swt, karena Dia-lah Yang Maha Menentukan segala sesuatu.
Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. [QS 3 (Ali ‘Imran): 109].
Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan. [QS 34 (Saba): 14].
Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia. [QS 40 (Al-Mu’min): 68]

Bagaimana pun hasil akhirnya, kita harus ikhlas menerima kenyataannya dan menyerahkan nilai hakikatnya kepada Allah Swt. Sekarang kita bisa plong menerima ketentuan Hadits Gharib (asing) yang memerintahkan bertawakal setelah berikhtiar. Walaupun kategori hadits ini gharib, sebab salah seorang perawinya ada yang tidak dikenal alias asing, kita pertimbangkan secara proporsional.

Segenap tahapan pekerjaan yang dilaksanakan itu sudah mengikuti seluruh petunjuk Sang Maha Pengatur dan RasulNya. Dari mulai azam serta niat, selama proses penggarapan, dan sampai tuntasnya secara hakiki telah diserahkan kepadaNya. Insya Allah Dia menjadikannya sebagai amal ibadah kita yang ikhlas.

Juga insya Allah maknanya sama dengan kita senantiasa merasa dalam pengawasan Dia. Sebab, kita semua pun diarahkan untuk mencapai ihsan – berperilaku seolah-olah dapat melihat Al-Ahad, bila tidak mampu yakinilah senantiasa dalam pantauanNya. Untuk melatihnya ada tip sederhana dari Sesepuh Pengajian Tawakal, almarhum H Permana Sastrarogawa: Biasakan menjadikan Allah Nomor Satu dalam memahami, menghayati dan mengamalkan segala sesuatu. 

Forum Komunikasi Tawakal

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP